Lakon Terakhir

Omius
Chapter #12

Lakon Terakhir

Menjelang tengah malam, pendapa Ki Suratmoko dipenuhi hawa aneh. Angin malam berembus pelan, membawa bau tanah basah bercampur asap dupa yang membubung dari sudut ruangan. Lima orang tua desa sudah duduk bersila di depan kelir, wajah mereka keras dan penuh wibawa, seolah tahu benar bahwa apa yang akan ditonton bukan sekadar hiburan.

Lampu minyak dipasang berjajar, cahayanya bergetar lembut, menimbulkan bayangan panjang di dinding kayu. Gamelan kecil disusun rapi, siap ditabuh. Semua tampak seperti pertunjukan wayang biasa, namun dengan suasana sunyi yang terlalu pekat.

Diyan berdiri di belakang kelir, tubuhnya tegak tapi tangannya gemetar. Wayang ksatria yang ia pegang terasa berat, seolah beban berlipat kali ganda ditanamkan di kulitnya. Di sampingnya, Ratna menatap cemas, memeluk catatan naskah lakon tandingan seakan itu satu-satunya pegangan.

Ki Suratmoko duduk di depan gamelan, siap menjadi penabuh sekaligus penjaga. Tatapannya singkat ke arah Diyan.

“Saat kendang pertama berbunyi, lakonmu bukan lagi sekadar cerita. Ia akan hidup. Dan hidup berarti ada yang mendengarkan, dari dunia ini maupun seberang.”

Diyan menarik napas panjang.

“Aku siap, Ki.”

Ki Suratmoko mengangguk, lalu memukul kendang sekali. Suara dum yang berat bergema ke seluruh pendapa, memecah kesunyian. Para penonton tua itu merapatkan duduknya, wajah mereka semakin tegang.

***

Pertunjukan dimulai. Suara kendang dan saron mengalun pelan, mengisi ruang dengan denting logam yang seakan membangunkan sesuatu dari tidur panjang. Diyan mulai melafalkan narasi pembuka:

“Alkisah, seorang ksatria muda diuji oleh gurunya. Ia diminta memilih jalan darah atau jalan nurani. Namun, ksatria ini menolak menjadi budak dendam. Ia mencari cahaya di tengah gelap.”

Wayang ksatria digerakkan di kelir. Bayangannya muncul jelas, berwarna hitam pekat di layar putih. Penonton tua bergumam lirih, beberapa mengangguk pelan.

Namun, tak lama kemudian, sesuatu terasa janggal. Bayangan ksatria di kelir tampak lebih besar daripada ukuran wayangnya. Seakan ada kekuatan lain yang memperbesar sorotnya. Cahaya lampu minyak bergetar, meski angin di luar nyaris tak berembus.

Ratna menggenggam tangan Diyan dari belakang, berbisik, “Yan, lihat kelir itu… bayangannya tak wajar.”

Diyan menelan ludah. Ia mencoba melanjutkan narasinya, meski dadanya mulai terasa berat. “Ksatria itu berkata: tidak ada lakon yang harus berakhir dengan darah. Hidup lebih berharga daripada dendam.”

Gamelan terus berbunyi. Tapi kali ini, nada-nadanya terdengar aneh, seolah ada instrumen lain yang ikut berbunyi dari kejauhan.

Ki Suratmoko berhenti sejenak, menatap gamelan dengan kening berkerut.

“Suara itu… bukan dari sini,” gumamnya.

Penonton mulai resah. Seorang kakek tua menggerakkan kepala ke kanan, seakan mendengar bisikan di telinga. Seorang nenek menutup mata, bibirnya bergetar membaca doa.

Kelir bergoyang pelan. Dari sisi bawah layar putih itu, muncul garis hitam tipis, seperti noda tinta yang merembes ke atas. Bayangan wayang ksatria tertutup oleh kegelapan yang perlahan menyebar.

Ratna menjerit pelan. “Itu dia… dia datang.”

Diyan merasakan kulitnya meremang. Ia tahu siapa yang dimaksud.

Ki Suratmoko segera menabuh kendang lebih keras, mencoba menahan getaran aneh itu.

Lihat selengkapnya