Lakon

Putriyani Hamballah
Chapter #1

Prolog

Aku duduk seenaknya di atas pasir pantai basah sambil memainkan butiran pasir hitam dengan batang pohon kecil. Sedari tadi deru ombak memecahkan keheningan suasana. Oh bukan itu ... kondisi di pantai sebenarnya sangat ramai, bahkan di setiap jengkal pasti ada manusia sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

Kuperhatikan mereka sedang sibuk bersua foto, mengobrol lalu tertawa, atau menggoreskan (mungkin) nama kekasih di atas pasir. Kebanyakannya sih sedang bermain, tertawa, bermain, tertawa dan begitulah. Tapi aku menyendiri, aku mau keheningan. Bukan mau sok dramatis seperti di film-film. Hanya saja, aku sedang bersabar menunggu sebuah janji. Dan itu berhasil membuatku sunyi dalam keramaian. Kemudian secara perlahan menjadi rasa takut.

Kerumunan teman sekelas menghampiri. Menarikku untuk ikut foto bersama dengan pantai Pangandaran sebagai latarnya. Momen yang memang harus diabadikan. Dengan malas, akhirnya aku bangkit sekedar meluangkan waktu untuk satu atau dua pose di depan kamera DSLR milik Leni. Dan juga sepuluh bahkan lebih pose di kamera ponsel milikku.

Halah bilang saja narsis!

Dalam kesibukan memotret, aku melihatnya. Melihatnya sedang berjalan santai sambil berbincang diiringi tawa bersama gerombolan temannya. Aku terpaku. Mata ini tidak mau lepas untuk terus melihat gerak-geriknya. Bahkan, untuk berkedip pun rasanya sangat takut. Seolah sekali saja aku berkedip, dia akan menghilang.

Kulihat lagi wajahnya yang ganteng. Tubuhnya jangkung berisi dibungkus dengan kaus distro gombrang bergambar kepala Spiderman. Bajunya bergerak-gerak karena ulah angin. Saat itu pula aku merasa cemburu kepada angin yang sudah seenaknya bisa menyentuh dia tanpa permisi. Ah ya, sebagai bawahan, dia mengenakan celana pantai selutut yang mungkin dibelinya tadi di pasar sekitar penginapan. Sandal jepit biru pun menjadi alas kakinya. Tapi ... sungguh aku tidak peduli dengan apa yang dia pakai. Yang kupedulikan saat ini adalah kesabaranku yang terus diuji.

"Heh! Kunaon sih kamu ngelamun terus. Nih ya! Kita teh lagi di Pangandaran," sungut Leni sambil menerawang laut dengan rambutnya yang terbang-terbang menghalangi mata. Aku memutarkan bola mata. Hello! Pohon kelapa juga tahu kali kalau kita ini lagi di Pangandaran, bukan di Gunung Kunci. "Udahlah tong galau-galauan. Kita itu harus bersenang-senang di sini. Nah kan ...," Leni melihat jam tangan sport-nya, "bentar lagi tuh sunset. Jadi jangan malah dipake ngelamun. Kapan lagi coba kita bakal jalan-jalan ke sini lagi," tambahnya seperti guru les yang sedang menerangkan. Dengan panjang lebar.

"Bawel banget sih. Udah sana ah, aku mau sendiri," sungutku lalu menjauhi Leni dan kawan lainnya.

Kakiku yang memakai sandal jepit warna merah menyusuri bibir pantai, sengaja agar menikmati rasanya air laut mengusap-usap kaki dengan lembut. Setelah bosan, aku mundur beberapa langkah untuk tidak terlalu dekat dengan bibir pantai. Setelah mendapatkan posisi nyaman juga tidak terlalu ramai, aku duduk kembali sambil meronggoh ponsel dari saku celana lalu mulai memotret.

Ada dia di sana. Tertangkap oleh kamera ponsel. Dia sedang duduk agak jauh di depanku. Kepalanya lurus ke depan dan rambutnya acak-acakan karena ulah angin lagi. Lagi dan lagi aku cemburu. Dengan gerakan dramatis yang dia tunjukan, aku merekamnya sekitar satu menit. Satu menit yang sangat memuaskan. Mungkin nanti video singkat itu akan kuedit dengan iringan lagu Tegar dari Rossa.

Gapai semua jemariku

Rangkul aku dalam bahagiamu

Kuingin bersama berdua, selamanya.

Lihat selengkapnya