Ngeri nih, inget kejadian lalu.
Aku mau cerita ke Oliv, tapi susah. Cuma kamu yang ngerti.
Send
Bete!
“Dah, gua pulang dulu. Makasih udah mau nganter gua ke Tewo. Sori juga tadi nggak sengaja mukul lu. Habisnya susah dibangunin sih. Kan terpaksa memakai kekeras—”
“Oke ... Dah Oliv. Selamat malam.” Tanpa menunggu Oliv pergi dengan si Pester, aku sudah berlari terbirit-birit menaiki tangga. Sampai pada akhirnya melihat pintu kamarku yang seolah merentangkan tangan untuk memeluk, seolah pintu itu adalah perlindungan. Dengan agak tergesa aku terus berlari lalu akhirnya bisa membuka kunci pintu meski dengan gemetar, kemudian masuk dan tentu saja segera membanting pintu. Setelah mengunci pintu lagi, aku mendengar beberapa penghuni kos menjerit. Mungkin pada terkejut mendengar pintu dibanting. Maaf, hanya saja pintu itu memang salah satu penyalur emosi terbaik selain senar gitar.
Sejak sore sampai malam aku benar-benar dibuat kesal sama Oliv. Baiklah ... tarik napas dalam ... hembuskan ... Jadi begini, saat di Tewo—Teater Wosh. Akukan lagi pusing tuh. Karena pusing dan bete nunggu Oliv sama John ngobrol, jadinya aku memilih untuk mendengarkan lagu dan ketiduran. Serius tadi itu ketiduran, tidak di sengaja. Insiden Oliv memukul pun terjadi, katanya sih untuk bangunin aku. Tapi sakitnya bikin bahu benjol.
Sejak itu aku bete sama Oliv. Aku sengaja memasang wajah cemberut agar supaya Oliv ngerti bahwa aku tidak mau diganggu. Tapi jadinya malah ngajak untuk keliling ‘istana’ Tewo. Karena keliling juga, aku makin bete dan sebel sama Oliv. Karena apa? Karena ternyata Teater Wosh yang namanya superaneh itu isinya menakjubkan. Serius deh. Dan yang membuatku membekas di hati sampai saat ini adalah, Teater Wosh memiliki museum sendiri. Dan museum adalah nomor dua dalam daftar tempat kesukaanku.
“Selamat datang di museum!” John terlihat bersemangat membukakan pintu dan jeng jeng jeng ... aku terbelalak kagum.