Ngga, Oliv itu baik banget. Terus dia nggak suka ngilang gitu aja, lho. Serius.
Send
Jika ada detektif atau orang yang merhatiin kehidupanku, mereka pasti menilai bahwa sekarang hidupku sangat beruntung. Beruntung mempunyai teman berhati malaikat seperti Olivia Nazawa. Dia adalah manusia yang tidak perhitungan dan baiknya tidak ketulungan.
Apartemen tipe studio Oliv sangat amat nyaman. Begini jadinya kalau kosan yang kutinggali dulu di update. Kipas angin ngadat diganti dengan AC. Kasur lapuk jadi ranjang empuk. Dan juga balkon di sini sangat cocok untuk menghabiskan secangkir teh. Enak banget apalagi ada dapur dan juga sofa untuk menonton TV. Ruangan yang tidak luas-luas amat namun dekorasinya bikin betah.
Aku bersyukur dan bersyukur.
Meski tinggal di tempat yang lebih nyaman, tetap saja ada hal yang membuat diri ini terus menerus mengingat tragedi masa lalu (dan tentu saja Lingga). Semakin tidak ada kesibukkan, semakin enak mereka masuk ke dalam pikiran.
Si Enon yang bisu juga tidak bisa selamanya jadi penghibur. Terkadang aku lelah memetik atau menggenjrengnya. Karena tidak ada orang yang peduli dengan jari tanganku yang terluka akibat si Enon.
Begini, aku mau sekali menghapus memori kengerian di masa lalu tapi aku butuh Lingga. Keduanya berhubungan. Lingga memang tidak terlibat pada saat kejadian, tapi pasti bisa membantu mengatasinya. Karena dia adalah orang pertama dan satu-satunya yang kuberitahu tentang tragedi mengerikan itu. Tragedi apa? Calm down, aku mau jadi manusia yang sok misterius (bayangkan aku mengatakannya sambil mengangkat kedua alis).
Nah sekarang bagaimana memunculkan lagi Lingga? Coba cari di media sosial. Sudah kubilang akun Instagram dan juga Facebook-nya tidak aktif sejak mengunggah foto dua tahun lalu. Coba hubungi keluarga atau teman-temannya. Keluarga? Oh ya ampun, kasihan sekali aku yang tidak pernah diajak Lingga untuk berkenalan dengan orangtua atau bahkan saudara-saudaranya. Lalu gimana dengan teman-temannya? Selama 3 tahun sekolah bareng Lingga, hanya aku yang sering Lingga sebut sebagai teman. Apa Lingga bohong agar supaya aku tidak mencarinya di saat hilang seperti ini? Jahat bener. Brengsek juga kalau kata Oliv.
Lalu sekarang bagaimana? Benar-benar tidak ada kegiatan. Aku juga keluar dari komunitas kampus Teater GoAct. Meski Bang Nino tidak masalah dengan statusku yang sudah gagal menjadi mahasiswi, tetap saja aku tahu diri.
Mau ngamen di lampu merah takut jadi viral. Nanti di undang ke acara talkshow bahwa ada pengamen cantik yang sering mangkal di lampu merah membuat pria-pria terpikat oleh paras dan merdu suaranya. Silakan yang mau muntah boleh banget.
Jadi sekarang harus ngapain? Seduh Indomie, tambahkan telur dan juga saus.
Angkat telepon! Buruan! Kalau nggak mau, ya reject! Angkat telepon! Buruan! Kalau nggak mau, ya reject!
Nada dering yang lagi-lagi menggunakan jasa suaraku mengganggu suapan terakhir mi. Oliv telepon. Segera kuangkat dan telinga seketika merasakan kejutan luar biasa mendengar suara nyaring dari sebrang sana.
“Kamu bikin telingaku serangan jantung,” tegurku lalu menyuapkan mi dengan gemas.
“Et dah! Emang telinga punya jantung?” sahutnya masih agak berteriak. Kuyakin dia menelepon lalu ponselnya di load speaker dan disimpan jauh dari telinganya. “Gua lupa ngasih tahu lu. Sekarang gua video call deh biar jelas,” katanya lalu mematikan sambungan. Hei! Hei Tayo! Kenapa tidak sekalian saja tadi tuh langsung video call?! Et dah, Panjul!
“Apa?!” tanyaku sewot ketika Oliv memenuhi layar ponsel. Rupanya dia benar-benar sibuk di toko roti milik bundanya, terlihat banyak kerja juga karena celemeknya kusut dan agak kotor, mungkin kotor karena tepung.
“Ngegas amat, Bu! Itu lho, lu sekarang ke kamar gih. Buruan gua lagi sibuk. Nah iya, sekarang lu ke meja rias. Nah iya meja yang itu dan lu mau duduk juga boleh. Sekarang lu buka laci atas. Tuh ada kotak kado, lu buka deh.”
“Wait ... kamu punya kamera? Kenapa nggak ngasih tahu sih,” kataku terkejut melihat ada kamera terletak kesepian di samping kotak kado yang Oliv maksud.
“Unda ... lu banyak bacot ya. Soal kamera nanti gua jelasin. Sekarang lu buka kotak kado itu,” suruhnya nampak tidak sabar. Kusandarkan ponsel di cermin lalu mengambil kotak kado. Kotak itu digoyang-goyangkan. Ya wajarlah kalau aku merasa curiga, Oliv kalau sudah jahil sikap kemanusiaannya bisa menghilang.
“Ini apa isinya? Kamu nge-prank aku, ya?”
“Ya ampun Sundani! Banyak banget bacot lu. Buka aja sih, gua nggak ngasih lu yang aneh-aneh.” Terlihat Oliv meremas-remas celemek yang membuat semakin lecek. Aku ngakak karena selain celemek, wajah Oliv juga tidak kalah leceknya.
“Oke ... oke ... aku buka.” Aku tidak mau membuat Oliv menderita. Kubuka saja kotak kado itu dan—
“Ini maksudnya apa?!” Aku terkejut melihat isi kotak. Isinya adalah kaos komunitas Teater Wosh dan juga formulir pendaftaran yang ternyata masih kosong. Kukira Oliv sudah memberikannya ke John.
“Sekarang, lu isi formulir itu dan siap-siap juga buat pergi ke kafe, ntar gua kirim lokasinya. Terus emh ... gua udah pesenin taksi online dan lima belas menit lagi bakal datang. Jadi buruan siap-siap! Jangan buat bule nunggu, malu sama identitas bangsa.”
Panggilan video pun berakhir dengan tidak indah. Si Oliv mengejutkan dan kenapa juga dia ngasih formulir serta baju? Bukannya dia semangat banget buat jadi anggota Tewo yang superkeren itu? Tapi aku senang sih, eh tapi kenapa dulu alasannya?
Oliv: Waktu pindahan, gua baca tulisan yang bikin penasaran di belakang buku kampus lu.
Sundani: Kampret banget aduh!
Oliv: Tenang aja, gua nggak bakal ngomong kalau lu menjilat ludah sendiri kok.
Sundani: Nah itu ngomong, Markonah!
Oliv: Salah... itu mah ngetik! Dah, gua sibuk!
*
John Holmes menampilkan senyuman yang sama saat pertama kali bertemu, masih juga mengenakan topi Born for Art-nya. Aku pun duduk sambil menyimpan ransel di sandaran kursi.