Lingga! Ayo kita bongkar kasus kelam itu. Kamu datang lagi dong. Buruan, jangan sembunyi mulu! Udahan dong petak umpetnya. Aku maafin... serius aku maafin sama janji yang kamu nggak tepati... tapi... ya... bisa di aturlah soal janji itu. Yang penting kamu jangan sembunyi mulu.
Send
Gini nih kalau sudah paranoidnya kumat. Aku terus mondar-mandir di apartemen Oliv. Sendirian. Oliv akhir-akhir ini emang sibuk di toko roti. Jadi dia jarang main bahkan tidur di apartemen juga jarang. Tugas kuliah yang menumpuk meski sebagian aku bantu kerjakan pun tetap saja masih membuatnya sibuk. Pantas saja kalau dia ngasih formulir Tewo.
Kubantingkan tubuh ke sofa karena sudah lelah mondar-mandir tidak jelas. Lalu menyalakan TV, muncullah acara memasak. Kutonton dengan malas dan oh tidak ... pisau, ada berbagai macam pisau yang tertata rapih di atas meja koki itu dan mohon maaf aku langsung tekan remote untuk mematikan TV.
Takutnya menambah gara-gara menyalakan TV. Akhirnya menangis seperti anak kecil. Meraung dan menjerit. Kuyakin apartemen ini memiliki kedap suara, mudah-mudahan saja begitu. Bukan maksud mau cengeng juga, kadang nangis itu perlu untuk menemani kegelisahan diri.
Aku beranjak menuju kamar tidur sambil terisak. Ambu, Ambu, Ambu.
“Bajingan!!! Ambu ... oh nggak ... nggak!!” Aku frustasi sambil mondar mandir di kamar tidur, seolah dengan cara itu Lingga tiba-tiba datang. Kulihat ke arah balkon. Loncat! Jangan! Loncat!
“Setan! Berisik!” Aku semakin menjadi. Sekarang kulangkahkan kaki ke ruang depan, berusaha menjauhi godaan balkon. Setelah keluar, kedua mata langsung menatap dapur dengan gemetar.
“Di sini nggak ada pisau, udah gua bawa balik. Kalau lu mau bikin nasi goreng, iris bawang merahnya pake gunting kuku aja,” kata Oliv nyinyir sekaligus juga menenangkan. Gunting kuku? Apa gunting kuku juga bisa membunuh? Aku meringis ngeri dan kembali ke kamar tidur.
Loncat ... loncat ... loncat ...
Aku menoleh lagi ke balkon lalu menelan ludah. Benakku penuh dengan darah segar di sprei putih. Kulangkahkan kaki ke arah balkon dengan gemetar, keringat dingin berjatuhan dari kening juga pelipis mata. Mahasiswi gagal! Perempuan nggak punya keluarga! Ditinggalin sama teman baiknya! Loncat! Kuraih pagar balkon dengan gemetar, kupegang erat-erat dan melihat ke bawah, sepi. Tidak akan ada orang yang memerhatikan. Napasku menggebu. Loncat! Sialan ... sialan ... kuangkat kakiku tinggi-tinggi. Uh, tolol!
“Unda! Hei ... hei! Jangan loncat!” Oliv meraih lengan kiriku dengan kuat-kuat sampai membuatku terhuyung kemudian terjatuh tepat di sofa empuk bersama Oliv yang ikutan jatuh lebih dulu. “Anjir ya lu. Tolol ... gila ... lu edan banget sih jadi orang,” maki Oliv membuatku mewek.
“Kenapa sih lu? Mau bikin berita heboh kalau ada perawan yang mencoba bunuh diri di apartemen temennya, hah?! Bego ... elu bego banget!!!”
“Iya aku bego banget, Liv,” isakku lalu tertawa seperti orang kerasukan. Oliv terlihat masih mengatur napasnya. Dia nampak sekali masih syok.
“Kalau ada apa-apa ya cerita. Bukan malah mau pergi ke akhirat.”
“Iya, maaf.”
“Kenapa sih? Ada apa sampe mau loncat dari lantai 8, hah?! Udah dua kali ya gua lihat lu mau bunuh diri. Dulu di rooftop kampus,” Di rooftop adalah pertemuan untuk pertama kali bersama Olivia Nazawa. Dari sana dia masih betah jadi temanku. “Sekarang di apartemen gua. Cerita ada apa? Siapa tahu gua bisa bantu lu atau nggak mau cerita ke gua, lu ke psikiater kek atau bikin snap kek.”
“Susah, Liv,” isakku dan Lingga datang menyerang pikiran. Aku semakin deras menangis. Kututup saja wajah oleh kedua tangan karena malu kepada Oliv yang sudah menyelamatkan nyawaku dua kali.
“Susah gimana? Apa ini semua berhubungan sama phobia pisau lu itu?” tanya Oliv. Kenapa harus bertanya! Aku enggan bercerita dan menjawab. Tolong hilangkan dulu 5W+1H, hilangkan sebentar saja.
“Ya, berhubungan. Aku malas membahasnya, Liv. Aku takut,” sahutku ingin membuat Oliv terdiam.
“Apa kejadiannya itu sebuah tindakan kriminal?” tanya Oliv lagi dan lagi. Oh ya ampun, aku memohon lagi untuk Oliv supaya bawelnya dihilangkan dulu. Karena enggan menjawab, kuanggukan saja kepala sambil terus menahan air mata yang akan keluar lagi.
“Oke, gua nggak akan maksa lu untuk jawab semua pertanyaan yang terus datang di kepala gua. Lu boleh mewek sepuas lu tapi jangan mau loncat lagi. Nih gua bawa es krim, makan gih. Katanya es krim bagus buat mood,” kata Oliv sambil memberiku es krim Cornetto.