Jam pulang sekolah. Murid-murid ramai berlalu lalang. Menuju gerbang sekolah untuk pulang kukira, namun ada juga yang menuju lapangan untuk memulai kegiatan di luar jam sekolah. Terlihat juga beberapa puluh murid menuju kantin, kurasa untuk memadamkan kelaparan yang tertahan selama jam pelajaran.
Aku, murid baru yang memantapkan diri untuk memasuki sekolah kejuruan. Tapi salah masuk jurusan. Seni adalah hal yang paling kusukai. Tololnya malah masuk jurusan Pemasaran. Aku bergidig ngeri ketika membayangkan menjadi seorang SPG. Tata bahasa harus baik dan juga wajah harus dirias semenarik mungkin untuk memikat orang-orang. Padahal bukan SPG saja pekerjaan dari jurusan ini. Yah, salahku juga entah kenapa mencontreng seenaknya kolom Pemasaran ketimbang Seni Teater. Akhirnya, setiap hari Rabu, selalu melaksankan ritual; menonton murid jurusan Seni Teater latihan di panggung teater terbuka di dekat lapangan olahraga.
Aku duduk di bawah pohon mangga yang sedang berbuah lebat. Memerhatikan beberapa murid sedang berlakon dengan kertas-kertas yang mereka genggam. Terdengar sedang mengisahkan tentang Legenda Cadas Pangeran. Meski latihan, aku sangat menikmatinya.
“Aw!” ringisku. Kepala ini berdenyut sakit ketika sesuatu menghantamnya. Sangat sakit dan langsung terasa benjol. Ketika kulihat ke atas, seseorang meloncat lalu tiba-tiba duduk manis di sampingku. Dia tersenyum kuda. Aku hanya meringis sambil mencoba membalas senyumannya.
“Hampura, nggak sengaja,” keluhnya terdengar menyesal. Aku menekan-nekan rasa sakit dengan tangan. Siapa dia? Wajah yang familiar.
“Eh ... Iya, nggak apa-apa kok.” Bohong. Kepalaku sakit gini bilang tidak apa-apa? Entahlah, matanya itu meluluhkan hatiku. Geuleuh! teriak batinku.
“Maaf banget ya ... eh ... Sundani?”
“Eeeeh ... i ... iya.”
“Kamu emang pendiem banget di kelas. Segitu pendiemnya sampe nggak kenal aku, ya?” tanyanya. Aku mengedip-ngedipkan mata. Benar, wajah yang familiar. Oh!
“Lingga,” gumamku pelan. Dia mengembangkan senyum mendengar nama itu, lalu mengangguk mantap, seolah memberi tahu bahwa nama yang di sebut benar miliknya. Aku tahu dia, namanya Lingga Hanjuang Dirgantara. Kami satu kelas dan selama seminggu menjadi murid tahun ajaran baru, hanya wajah dia yang paling menarik perhatian.
Dari postur tubuh tegap dan juga gaya perpakaian rapih membuat kesan tersendiri. Tapi sekarang, hobinya manjat dan nyolong mangga sekolah. Lagi pula, murid membayar ke sekolah, jadi, sah-sah saja bukan mengambil hasil alam di sekolah. Hehe.
Lingga masih diam di sampingku. Dia menatap dengan teduh membuat tubuh gemetar, tatapannya nampak penuh peduli. Tangannya ingin menyentuh kepalaku yang kesakitan tapi tidak jadi karena suasananya canggung. Jantungku bedenyut cepat ketika hal itu terjadi, memompa darah sehingga muncul adrenalin. Kulihat lagi matanya, dan aku semakin memberanikan diri jika mata peduli miliknya seakan tidak ingin kulepaskan dari pandangan. Seolah mata itu sengaja hanya untuk membuatku merasa aman di dunia.
“Sakit?” tanyanya masih terdengar cemas.
“Nggak kok ... udah enggak,” jawabku jujur. Mata Lingga menyembuhkanku.
“Syukurlah,” dengusnya lega, “kalau ada apa-apa bilang ya. Sebagai gantinya, aku akan berusaha bikin kamu baik-baik saja,” lirihnya sambil mengedipkan mata. Kalimat yang diucapkannya langsung menyerbu pikiranku. Mencatatnya dengan tinta merah tebal, permanent, di garis bawahi dan langsung simpan dalam memori ingatan.
“Ngapain di sini?” tanyanya. Tangan Lingga meraih buah mangga yang tadi jatuh di kepalaku. Mangga itu di bersihkan oleh kedua tangannya.