Lingga Hanjuang Dirgantara tidak benar-benar menghilang. Dia ada, bahkan sedang tersenyum di depanku. Tidak ada yang berubah, bulu matanya yang lebat, sorot mata pedulinya, rahang kuat, rambutnya yang selalu di sisir ke samping, senyumnya, suaranya, semuanya lengkap.
Di Pizza Hut kami sedang menghabiskan waktu sore. Lingga mentlaktirku. Ah bukannya aku memang memiliki wajah yang mengkhawatirkan, ya? Jadi bisanya cuman di tlaktir. Aku dan Lingga sedang memakan piza. Gadis kampung miskin sedang memakan piza! Tidak buruk, lidahku masih sanggup menerima makanan asing. Hanya saja, keju mozarella kadang membuat perut meronta sakit.
“Biasanya singkong bakar, sekarang makan sama piza. Gimana perasaannya, An?” tanya Lingga lalu menyedot minuman sodanya. Aku masih mengunyah lalu menelan.
“Gimana perasaannya? Yah, singkong bakar lebih ngeunah!” seruku.
Piza enak memang, tapi singkong bakar lebih luar biasa enaknya. Karena ada perjuangan saat membuatnya. Dulu saat mau membakar singkong, aku harus minta ijin dulu ke pemilik kebun atau bahkan bisa sampai mencuri singkong—adegan berbahaya, jangan ditiru—terus sebelumnya juga harus menyiapkan kayu bakar dan meyalakannya dengan api. Terus ya dibakar singkongnya. Sambil menunggu singkong, biasanya ada yang membuat sambal goang. Singkong bakar yang di cocolkan ke sambal goang itu enak banget! Duh jadi pengen singkong bakar aku tuh!
Kami masih sibuk makan. Dan ide cemerlang melintas di kepalaku. Ini akan sedikit menggelikan memang, tapi mari kita coba.
Kuambil satu potong piza lagi, lalu melahapnya dengan agak banyak sehingga membuat pipi dan mulutku belepotan. Tuh ... menggelikan bukan? Siapkan mental, ini adegan ter-klise sepanjang perfilman di negara +62 ini.
Tolol tolol tolol. Lingga tidak ada reaksi, dia masih fokus sama pizanya. Aku menyerah dan merasa bego sendiri. Tangan kananku akan meraih tisu namun Lingga menepisnya pelan. Tangan kanan yang menepisku halus tadi bergerak mendekat ke wajahku. Aku butuh oksigen. Semakin dekat. Aku butuh ambulan. Dan ...
AAAAAAH! LINGGA BERHASIL MASUK PERANGKAP KETOLOLANKU!
Aku tersipu. Pasti pipi ini memerah seperti bentol. Ide sinting ini berhasil. Lingga tertawa, “Pelan-pelan dong makannya. Pizza Hut di sini buka 24 jam, jangan terburu-buru, nanti tersedak gimana,” ledeknya puas. Aku masih merasakan jantung sedang berdegup tidak karuan. Badanku serasa melayang ke langit dan menembus awan. Terbang! Sentuhan dari seorang Polisi. Meledakkan hati seperti di tembak oleh pistol asmara, ucapku lebay dalam hati.
“He ... iya, Pak,” sahutku cengengesan. Yes berhasil ... berhasil hore!
Satu loyang piza pun habis oleh berdua. Kemudian Lingga memberikanku ruang untuk bicara.
"Aku mau ikut lomba teater, Ngga. Nanti yang menang bakal jadi ketua komunitas,” kataku membuka obrolan. Lingga menyandar ke kursi sambil melipatkan kedua lengannya di dada.