“Lho kok ke sini?”
Lingga hanya menyunggingkan senyum sambil fokus membawa masuk mobil setelah portal terbuka. Aku tidak mau turun! Lingga keluar lalu membukakan pintu mobil untukku, seperti seorang pangeran yang sudah kencan dengan sang puteri. Pintu sudah terbuka dan aku tetap diam. Diam sambil melipatkan kedua tangan.
“Ayo turun, An,” katanya dan aku diam. Lingga membungkuk ke arahku. Mendekatkan wajah dan oh ya ampun! Lingga membuka sabuk pengaman saja membuat jantungku seakan melihat lampu merah lalu ngerem mendadak. Cekittt!
“Nggak mau,” rengekku seperti bocah ngambek.
“Oliv aku punya hadiah besar buat kamu!” seru Lingga agak berteriak. Aku menutup wajah dengan kedua tangan. “Hadiah besarnya malu-malu, sini kamu aja yang bawa.” Terdengar langkah kaki tergesa menghampiri. Langkah yang semakin mendekat dan berhenti tepat di sisiku.
"Uh anak yang ngambek pulang juga. Sini sini ... kembalilah ke indukmu, Nak,” ucap Oliv lalu merangkul lenganku. Menariknya dari mobil.
“Sejak kapan kalian bersekongkol, hah?” dengusku lalu membuka mata, langsung melihat Oliv yang wajahnya nampak segar dari sebelumnya. “Kamu juga,” Aku menunjuk Oliv. “Sejak kapan baikan sama Lingga yang kata kamu brengsek?”
“Nggak baik punya musuh itu," Aku mendengus. "Kalau gua musuhan sama Lingga, gua nggak punya koneksi buat melacak lu. Udah deh jangan banyak bacot, gua mau lu tinggal di sini lagi. Gua juga udah bawa barang-barang lu dari kamar Bang John,
“Gua juga mau banyak cerita sama elu, tapi nggak di sini. Nggak di Jakarta. Gua mau kita pergi ke rumah lu di Sumedang. Gua yang anak debu metropolitan ini mau ke tempat yang sejuk, yang membuat suasana dramatis kayak di film-film gitu, oke?”
Aku yakin Oliv sudah agak membaik hatinya. Kebawelannya sudah kembali dan itu bukti keras bahwa kepalanya sudah tidak terlalu mumet.
“Tapi satu minggu lagi aku bakal tampil lomba drama, Liv.”