Malam hari. Oliv masih belum pulang belanja. Aku kehausan dan kehabisan minuman soda di kulkas. Kuputuskan saja untuk membeli ke minimarket. Manja banget sih harus minum soda segala. Padahal kebiasaanku kalau sudah minum soda adalah minum air mineral dari galon. Lieur!
Setelah mendapatkan beberapa minuman dan juga makanan ringan di dalam tas belanja, aku kembali dan sangat tidak tertarik untuk nongkrong lama-lama di luar. Omong-omong soal uang jajan, Oliv selalu menaruh beberapa lembaran uang di atas kulkas. Terus di pintu kulkas ada kertas catatan berwarna kuning menempel miring dengan tulisan:
Duitnya pake jajan. Gua nggak mau ada orang kelaparan di apartemen.
Saat melewati lobi, aku merasakan aura tidak enak. Perasaanku kayak ada yang mengganjal. Aku bukan anak indigo, tapi kepala ini enggan sekali untuk menoleh ke belakang. Ada apa di belakang?
“Sundulu!”
Eh copot ... copot! Nah kan, ngagetin.
John Holmes yang masih saja memakai topi berbordir Born for Art berdiri tegap di hadapanku. Kali ini dia mengenakan hoddie dan jins hitam panjang. Sepatunya Converse abu-abu dan terlihat memakai kaus kaki. Dia tidak kegerahan, ‘kan?
“Kamu ngapain ke sini?” tanyaku meski senang bisa bertemu lagi. Dia masih mencari posisi duduk yang enak. Yeah, John mengajakku untuk berbincang di sofa lobi. Karena segar melihat mata birunya, oke aku nurut. Rasa butuh soda pun menghilang.
“Tuh,” John menunjuk ke gedung apartemen sebrang. “Saya dari apartemennya Kang Irwan. Tadi disuruh ke sana, membahas persiapan untuk nanti tanggal 19. Eh, pas mau pulang lihat kamu,” jelasnya. Dia mengeluarkan permen karet, memasukan ke dalam mulut dan mulai mengunyah. Aku mangut-mangut.
Kang Irwan. “Oh!” aku sedikit berteriak. Membuat John tersedak permen karet. Maaf, tapi aku benar-benar senang bisa menemukan pertanyaan yang sering lupa. “Maaf, John. Aku cuman mau tanya,” kataku perlahan. John mengangguk sambil membuka lagi bungkus permen karet lalu mengunyahnya. “Kenapa Kang Irwan pake baju lengan panjang terus sih?” tanyaku. John nampak terkejut lalu tertawa. Ada yang salah?
“Entahlah, Sun. Tapi memang, dia selalu memakai lengan panjang bahkan saat tampil pun demikian. Mungkin itu adalah ciri khas atau memang ada alasan lain yang tidak diketahui,” jelas John. Aku mengangguk kaku, masih bertanya-tanya. Jawabannya tidak membuat puas.
Aku tidak tahu kapan John akan pamit. Tapi setiap cerita tentang John saat masih menjadi warga London membuatku betah duduk di sofa lobi.
Dulu, seorang John Holmes sempat frustasi hidup di London. Bakat senimannya tidak diterima oleh kedua orangtua yang lebih mendukung untuk menjadi seorang detektif.
“Mom and Dad, benar-benar menikah karena mereka sama-sama menyukai Sherlock Holmes.” John Holmes mulai menerawang, mengingat masa lalu. “Penggemar fanatik. Mereka sangat memaksa saya untuk mendaftar menjadi seorang agen detektif di kepolisian dan bahkan menawarkan untuk menjadi detektif swasta. Saya sangat kesal. Bakat saya bukan untuk mencari jejak. Bakat saya itu untuk melakoni apapun dalam peran.” Dia menghela napas. Kepedihan nampak saat John akan melanjutkan ceritanya. Bahkan, aku kesulitan mengatur napas mendengar semua cerita John. Membayangkan posisinya saat itu.
"Ya, saya memang keras kepala. Saya hanya mengikuti apa yang saya mau. Sampai pada akhirnya, saya mengikuti komunitas teater di sana. Menjadi pemeran utama ketika tampil untuk pertama kalinya. Malam itu, undangan pementasan saya tempel di lemari pendingin. Sangat berharap Mom and Dad akan menonton.
“Benar, mereka menonton. Saya sangat senang. Mereka duduk di kursi paling depan sehingga bisa saya lihat reaksinya. Tapi, semuanya hanya kemarahan. Cerita humor yang saya mainkan sama sekali tidak membuat mereka tertawa atau tersenyum sedikit pun. Hal buruk akan datang. Dan benar saja, setelah sampai rumah, mereka mengusir saya dengan memberikan dua koper besar dan tumpukan uang.
“Teriakkan marah mulai menyambar wajahku, ‘Enyahlah dari sini! Tidak guna! Biarkan kami mengadopsi anak yang penurut!’ kata Dad menggebu. Saya sangat terpukul. Sebegitu haruskah anaknya menjadi seorang detektif. Adakah hal lain yang menjadi alasan selain cintanya kepada karakter fiktif Sherlock Holmes. Tentu, Sundulu.” John mengambil jeda. “Mereka kehilangan my brother. Saya memiliki kakak yang sama sekali tidak saya tahu. Mereka menyembunyikannya sedari saya lahir. Kata uncle Ian, my brother menghilang ketika tur teater ke luar kota.
“Dari kejadian ini saya menjadi tahu, bahwa cinta bisa membuat segalanya berubah. Sampai seorang anak dicampakkan. Mereka lebih mencintai my brother. Sampai saat ini, saya tidak mendapatkan kabar mengenai mereka dan saya bahagia di sini,” katanya tersenyum, pandangannya masih menerawang. “Uncle Ian memberi kabar lagi kalau semuanya baik-baik saja. Dia menceritakan dengan singkat bahwa saudara laki-laki saya sudah ketemu dan pengganti saya sangat bahagia atas prestasinya sebagai detektif jenius. Mereka tidak sama sekali menyebutkan nama saya.”