Kami berada dalam perjalanan sudah hampir lebih dari enam jam. Sekarang sudah memasuki wilayah Kabupaten Sumedang.
Di dalam mobil Jazz milik Oliv, Bang Nino duduk di tengah sambil tertidur pulas di pundak kiri Oliv yang duduk di sisi kanan. Sedangkan Oliv nampak kesusahan pindah posisi yang mungkin merasa pegal. Aku sendiri duduk di samping Lingga yang sedang menyetir. John duduk di sisi kiri terlihat melongo kebingungan melihat keluar jendela.
“What the ...,” John mendengus. Topi setia itu di buka paksa. Rambut pirangnya nampak mulai menggondrong di acak-acak. Dia menatap lagi jalanan yang ramai sambil manyun.
"Ada apa sih, Bang John?” tanya Oliv sambil kesusahan napas, kelihatannya posisi Oliv memang tidak nyaman, mungkin bahunya keberatan oleh kepala Bang Nino.
“Saya kebingung ... Serius kebingung,” Kebingung itu kebingungan kali ya. “Banyak sekali papan atau spanduk yang tertulis Tahu Sumedang.” Aku menahan tawa. “Lha, ini pertanyaan atau pernyataan. Tidak ada tanda tanya kalau memang ini pertanyaan. Kalau pernyataan, kok agak gimana gitu. Very confusing.”
Mendengarnya, sontak membuatku, Lingga dan Oliv terbahak-bahak sampai membangunkan Bang Nino. Nampak sekali wajah John semakin kebingungan di tambah Bang Nino juga ikut-ikutan bingung. Aku tidak bisa berhenti tertawa, sampai Oliv melempariku dengan bantal bau iler kesayangannya. Mual sekali ketika bantal itu mendarat tepat di wajahku, ih jijik!
“Oh come on!” John Holmes berteriak. Dia benar-benar marah dan begitu serius menanggapi hal ini.
“Tahu. Kamu tahu tahukan? Makanan itu lho,” tanyaku untuk membuat John tenang. Kasihan dia, takutnya tidak bisa tidur nyenyak. "Apa gening bahasa Inggris-nya teh, Liv?"
"Tofu," jawab Oliv membuat John berbinar.
“Oh tahu. Ya, saya tahu,” jawabnya semakin berbinar. Tubuh jangkungnya mencondong ke arahku.
“Nah, tahu itu salah satu makanan khas Sumedang, Tahu Sumedang,” jelasku menambah keterangan.
“Boleh saya mencobanya?” tanya John antusias. Seperti anak kecil mau mencoba sesuatu yang baru.
“Boleh dong! Silakan sepuasnya. Nanti sore atau malam kita jalan-jalan dan beli tahu, oke!” jawabku lebih antusias.
Mobil memperlambat lajunya, seolah sang supir sengaja memamerkan bahwa inilah Sumedang. Aku berbinar. Rindu sekali. Sudah berapa tahun aku tidak pulang.
Maafkan aku, Sumedang. Meski jauh, Sumedang tetap tempat pulang, batinku dramatis.