Sore hari di kota Sumedang. Udaranya bersahabat meski harus adaptasi lagi. Tapi, sekarang agak panas sih.
Kami sedang dalam perjalanan. Lingga masih bersama, tidak jadi pulang. Aku khawatir kalau dia harus pulang ke rumahnya. Tapi Lingga berubah pikiran sambil mengatakan tidak keberatan. Katanya, momen ini belum tentu akan terulang, masa cutinya diberikan untukku. Aw, baik sekali sih Pak Polisi tampan banget ini.
Hampir sampai ke tempat tujuan. Terlihat dataran menjulang panjang. Terbentang banyak tanah yang menonjol dari bumi. Ada juga ciri untuk diingat. Aku tersenyum ke arah Oliv yang sedang mengerutkan keningnya. Setelah memerhatikan ke empat temanku, semuanya kelihatan bingung—kecuali Lingga.
“Apa ini tempat wisata?” tebak Oliv sangat salah.
“Hei! Siapa yang mau berwisata ke pemakaman, hayu turun, takut kemaleman,” ajakku semangat padahal enggak.
Semuanya turun dari mobil. Lingga berjalan di samping kiriku dan Oliv di sisi lainnya. John dan Bang Nino mengikuti di belakang. Langkah yang lambat. Tidak ada secuil bahkan lebih percakapan, mereka diam seribu bahasa. Kemudian, setelah melewati beberapa nisan, akhirnya sampai juga.
“Sampurasun, Ambu,” lirihku menatap batu nisan sambil mencoba untuk tersenyum. Oliv nampak terkejut, dia memandangiku dengan sorot penuh pertanyaan dan ketidak percayaan. Semua membisu, membuat keheningan. Aku menghampiri batu nisan dan air mata mulai meluncur dengan deras. Kucium batu itu dan mulai memeluk tanah yang berumput pendek.
Sundani Isme yang cengeng akan kubuktikan di sini.