Lakon

Putriyani Hamballah
Chapter #21

Oliv yang Penuh Misteri

Akhirnya bisa ngerasain dingin lagi.

Malam Minggu di puncak Toga, pengunjung lumayan ramai, tapi kita sudah mendapatkan tempat yang sangat nyaman. Pemandangannya indah sekali dari ketinggian. Di atas sini, terlihat keramaian kota yang terlihat kecil bergemerlap oleh lampu-lampu. Seakan kedap-kedipnya cahaya adalah detak jantung, menandakan kehidupan juga harapan.

Lingga, John dan Bang Nino sedang ke pusat kota. Mencari makanan. John semangat karena mau merasakan gurihnya tahu Sumedang. Seharusnya aku dan Oliv yang membeli makanan. Tapi, rasa lelah mulai terasa. Jadi, semua di serahkan saja ke Lingga yang sekaligus menjadi pemandu.

“Jadi, Ambu sudah meninggal,” kata Oliv. Matanya menerawang pemandangan kota. Aku menghela napas kemudian dengan mudah mulai menceritakan semuanya. Tindakan kriminal yang Oliv duga sudah dibenarkan. Oliv menangis mendengarnya. Hati perempuan memang lembut. Jangan bilang aku atau Oliv atau semua perempuan itu cengeng. Hati perempuan itu mudah tersayat oleh kepedulian.

Oliv menepuk-nepuk pundakku lagi seolah isyarat bahwa aku harus kuat. Selama ini aku sangat kuat. Tidak sampai nekad untuk menambah nisan berukir namaku di samping makam Ambu. Oh tunggu, jangan besar kepala, lalu loncat dari rooftop mantan kampus dan juga apartemen di lantai 8 bukankah tindakan itu juga akan membuat nisan di samping Ambu? Sungguh aku berterima kasih banyak kepada seorang Olivia Nazawa yang sudah menyelamatkan dua kali nyawaku.

"Lalu Ibu?” tanyanya.        

“Ibu itu yang merawatku setelah kepergian Ambu,” jelasku. “Beliau memiliki pondok yang berisi anak-anak yatim piatu dan dhuafa. Aku tinggal di sana sebelum berangkat ke Jakarta.

“Ke Jakarta bukan hanya sekedar untuk mewujudkan mimpi Ambu yang ingin aku jadi sarjana. Tapi, aku juga punya tujuan untuk bekerja di sana. Untuk membiayai sekolah anak-anak yang masih di pondok. Hanya saja, ekspektasi nggak sesuai realita. Ujung-ujungnya aku malah sering ngerepotin kamu, Liv. Tapi, sedikit uang yang ada di dompet, pasti aku sisihkan untuk Ibu dan anak-anak, tabungan pun lancar meski sedikit mengisinya,” jelasku lagi. Oliv menatapku dengan binar, cieee aku berhasil membuat orang terharu. Uhuy!

“Lu kebangetan banget sih, Sundani! Merahasiakan ini dengan sangat rapih,” dengusnya kesal. Aku tertawa. Respons yang bagus karena tidak mau obrolan tentang ini akan ramai dengan air mata.

“Hei! Kamu juga gitu. Pandai merahasiakan. Tapi, rahasiaku, sekarang bukan rahasia lagi, kamu sudah tahu,” kataku sambil mulai berbaring di atas tikar. “Ayo tiduran, jangan takut jijik. Lihat langit yang berbintang itu. Seolah memberitahu kalau setiap masalah pasti ada cahaya yang mampu menyelesaikannya.” Waduh! Bisa juga aku ngomong kayak novelis cerita fiksi.

Oliv menuruti. Dia tertawa melihat langit. Orang-orang yang berkunjung melihat tingkah kami yang seperti adegan di dalam film. Film persahabatan yang sempurna. Tapi, mereka juga tidak kalah miripnya dengan sinetron. Duduk berduaan dan mungkin sedang membicarakan tentang masa depan yang indah.

Udara dingin mulai menusuk. Di sini, Oliv memakai dua jaket. Bukan lebay, dia memang benar-benar kedinginan. Kasihan juga, tapi Oliv tidak mengeluh, malah dia bilang: “Gua seneng bisa ngerasain udara dingin, serasa lagi di luar negeri gitu, andai saja ada salju, makin mirip, ‘kan?” Dan dengan tersenyum ramah, aku pun mulai mengeluarkan kata sok bijak ini: “Hai, Olivia Nazawa. Kita sedang di luar kota, bukan luar negeri. Udara seperti ini sangat tidak perlu di bandingkan dengan luar negeri, karena di dalam negeri saja, Anda sudah bisa menikmati udara yang enak ini. Mohon pengertiannya.” Mendengar itu, Oliv hanya berdecak, lalu menganggukkan kepala sambil memutarkan bola matanya.

Sumedang,” lirih Oliv. “Bukannya penyanyi Rossa itu lahir di Sumedang, ya?”

“Betul sekali! Diva kebanggaan Indonesia itu berasal dari kota kecil ini,” jelasku bangga, “Teh Ocha, selain penyanyi yang luar biasa, dia juga baik dan rendah hati banget,” pujiku.

"Dih, kayak yang udah ketemu aja.”

“Hei! Jangan salah,” protesku. “Waktu ulang tahun kota Sumedang ke-438 Teh Ocha datang mengisi acara. Bahkan ada ucapannya yang nggak pernah aku lupain meski lupa kalimatnya.”

“Lha gimana maksudnya tuh?” Oliv bingung. Dia memicik sambil sibuk menggosok dan meniup kedua telapak tangannya.

“Aku hanya ingat Teh Ocha bilang gini ‘Jangan malu menjadi orang daerah.’ Nah itu doang yang aku ingat. Tapi bisa disimpulkan bahwa, jangan malu menjadi orang daerah karena mimpi itu nggak dilihat darimana asal tempat tinggalmu. Mimpi itu hanya untuk orang-orang yang berani mewujudkannya. Teh Ocha telah membuktikannya.”

“Widiiihh Sundani!” seru Oliv dibarengi tepuk tangan. Aku merasa bangga dan termotivasi setelah mengucapkan kalimat tadi. Semacam ada bergidig-bergidignya gitu.

Lihat selengkapnya