Lakon

Putriyani Hamballah
Chapter #22

Selamat Menikmati

Aku merasa ada yang berubah. Sebelum ke Sumedang, aku merasa tidak terlalu terbebani. Mengobrol dengan pembahasan yang ringan dan sarkas. Tapi setelah di Sumedang, pikiran ini berat. Semuanya menjadi sensitif dan mudah juga untuk membuatku jadi agak cengeng. Gimana ya? Aku merasa berubah saja.

Matahari sedang menyiapkan diri untuk menerangi sebagian bumi. Sinarnya sudah nampak sedikit, menembus awan yang seolah menghalangi. Dengan teh hangat, aku duduk di kursi malas, menyaksikan sang fajar terbit dengan hembusan angin menenangkan namun dingin. Suasana ini lebih pantas aku lakukan di balkon, bukan menatap kutang dan celana dalam atau gedung-gedung dengan bising kendaraan dari bawah.

Dari balkon di sini, Gunung Tampomas nampak gagah sekali. Langit biru, awan putih, burung yang berterbangan bebas, sawah-sawah, atap-atap rumah, jalanan, bukit-bukit dan pepohonan menambah riasan indahnya Tampomas. Bisa tidak Tampomas bicara? Aku ingin bertanya, sakitkah dia yang sebagian kegagahannya di gerus oleh manusia? Senangkah dia berdiri kokoh di tanah Sumedang ini? Aku meringis.

Tapi diam di sini dengan pemandangan yang segar sangat membuat diriku bangga dengan indahnya pesona Sumedang. Aku menyunggingkan senyum. Ah! Betapa bergetarnya hatiku ketika mengucapkan syukur.

Kepalaku mulai berpikir keras ketika memikirkan kasus yang harus segera tuntas. Siapa bapak-bapak itu? Apa itu Abah. Abah yang membunuh Ambu dengan pisau? Tiga tato bercak darah. Ah! Abah tidak mungkin punya tato. Tapi, bisa jadi kalau itu hanya untuk membuat alibi kuat. Setelah mengambil sertifikat rumah, Abah membunuh Ambu agar bisa segera menjual rumah tanpa harus berdebat dan kemudian pergi sejauh mungkin.

"Hanya sebuah rasa dan penghayatan. Maaf Bu. Saya membutuhkannya.” Kalimat si keparat sebelum menusukkan pisau mungilnya ke perut Ambu itu agak membingungkan. Rasa apa? Cokelat, vanila, kacang, kismis atau apa? Juga penghayatan apa?

Kenapa juga aku masih menyambungkan ini ke dalam kasus Ambu? Lagi dan lagi aku membahasnya! Baru tadi malam sebelum tidur memikirkan ini dan sekarang sudah mengulanginya lagi! Ingat kata Lingga, jangan cepat menuduh! Tapi keyakinan yang menuntunku untuk mengaitkan semua ini dengan kasus Ambu, keyakinan seperti inilah yang kadang akan mendekat dengan kebenaran. Kepalaku pusing.

Pikiran beralih ke pemandangan yang diberikan oleh Semesta. Matahari muncul perlahan, menyapa agar penghuninya harus semangat. Rasa hangat menyentuh kulitku, menerobos sampai tulang-tulang. Cahaya yang menembus awan-awan putih seolah memberi tahu kalau harapan itu harus ada meski ada benteng yang besar sekali pun. Tapi aku pusing.

“Sundani! Lu parah lu. Nggak ngajak gua minum teh pas sunrise,” sungut Oliv mengangetkan. “Ah elu tega banget dah sama gua. Rese!”

“Bodo amat. Aku sudah mengenangnya barusan. Dadah mau mandi dulu,” jawabku meledek. Dia mendengus. Sampai di kamar mandi, air dingin yang membuat terkejut mengguyur wajahku. Tolong, segarkan diri ini untuk tidak terlalu merasa terancam dan nampak payah.

*

Hari Minggu di Sumedang.

Di siang yang terik. Aku mengajak mereka ke alun-alun pusat kota untuk memanfaatkan anginnya. Mari berangkat. Manfaatkan waktu karena nanti sore atau malam harus sudah di Jakarta lagi.

Alun-alun kota sudah terlihat. Mobil di parkirkan di sekitar Masjid Agung Kota Sumedang—yang memang satu tempat dengan alun-alun. Ah ya, kenapa kebanyakan alun-alun harus satu tempat dengan masjid? Hayo kenapa?

Setelah keluar dari mobil, aku melihat pedagang sedang membereskan dagangannya dan juga petugas kebersihan sedang menyapu. Hari Minggu, oh car free day. Pantes kalau sampah di mana-mana. Pantes? Tidak semestinya sih, karena sampah punya tempat yang layak. Tempat sampah, yaitu tempat untuk sampah. Selokan, sungai, jalanan, dan tempat lain yang tidak ada nama ‘tempat sampah’ berarti bukan tempat sampah—Ehem, sok-sokan ngasih pesan moral biar ada manfaatnya.

“Maaf kalau momennya nggak tepat,” lirihku melihat sekeliling. Aku menggembungkan pipi lalu manyun.

"Kenapa lu?" tanya Oliv selalu mau tahu apa artinya mimik wajah orang. Aku tidak menjawab. "Ada perubahan ya?" tanyanya.

"Iya," jawabku merasakan panas.

Lingga mengajak untuk segera memasuki alun-alun. Aku memandu dan akan mengajak mereka melihat tugu Lingga. Ini salah satu tugu yang bersejarah. Mereka harus tahu sedikit sejarah kota tahu ini. Jangan hanya tahu saja yang mereka tahu.

Bangunan berbentuk kubus itu memiliki atap yang menyerupai kubah masjid, maksudku bentuknya bujur sangkar. Terdapat anak tangga di setiap sisinya. Bangunannya unik dengan bentuknya yang mungil. Dulu sebelum meninggalkan Sumedang, tugu Lingga dikelilingi oleh pagar, sekarang tidak lagi. Itu bagus, karena dulu aku hampir-hampiran memanjakt pagar karena mau lebih dekat melihat bangunannya.

“Itu namanya monumen atau tugu Lingga,” ucapku tanpa mereka tanya. Lingga yang berada di sisi kiriku menoleh sambil memiringkan senyum. John yang berada di sisi kananku melihat-lihat tugu sambil menggenggam kamera. Oliv yang tadinya sedang di potret oleh Bang Nino, perlahan menghampiri.

“Tugu Lingga?” tanya Oliv sambil melirik Lingga.

Lihat selengkapnya