Kami sedang berada di Gedung Teater Jakarta.
Kang Irwan membuat lomba perebutan ketua Tewo ini akan di pertontonkan secara umum. Tiket sudah ludes terjual. Aku terkejut mendengarnya, ternyata antusias dari masyarakat sangat luar biasa.
Hari ini, semua anggota Tewo sibuk menyiapkan properti atau kebutuhan untuk besok pementasan. Besok! Waktu berjalan begitu cepat, besok adalah kesempatan yang harus dimanfaatkan dengan sangat baik. Besok malam juga, timku akan berlakon diurutan pertama.
Sekarang, jam menunjukan pukul sepuluh malam. Persiapan akhirnya sudah selesai. Aku duduk di kursi penonton untuk beristirahat. Mata menerawang ke arah panggung yang luas, membayangkan besok akan berlakon di sana. Tiba-tiba, seseorang duduk di samping kananku, dari wanginya sudah kutebak itu adalah John Holmes. Dia ikut-ikutan terdiam melongo ke arah panggung. Muncullah keheningan yang panjang, seolah kami lupa caranya berbicara.
“Sundulu,” lirih John. Aku menoleh dan langsung melihat sepasang mata birunya yang terang. Oh Tuhan, kenapa mata itu membuatku ingin jatuh ke dalamnya. John membuka perlahan topi lalu merapihan rambut seolah sedang berhadapan dengan seorang guru.
“Ya?”
“I love you,” jelas, lembut dan dapat dimengerti. Aku tersontak kaget sampai membuat tenggorokan tercekik. Serangan pusing pun mendadak datang. John mengatakan cinta padaku di tempat duduk penonton! John mengatakan cinta padaku. Baru saja dengan lancar!
“I know, kamu pasti masih belum sembuh oleh karena Lingga. But, saya hanya menyampaikan apa yang saya rasakan,” lirihnya lagi.
Lingga si cowok brengsek yang sudah punya pacar. Lingga yang selalu membuatku baik-baik saja. Lingga yang menyebalkan. Lingga yang selalu membuatku rindu. Lingga ... Lingga ... Lingga. Sangat sulit untuk menyingkirkan rasa sayang yang sudah tumbuh semenjak duduk di kursi putih abu-abu. Sangat sulit bahkan oleh bule ganteng sekali pun.
“Maaf, John.” Bego! Bule tampan aku tolak? John Holmes itu baik, terlebih dia juga menyenangkan. Ketika aku bete dengan Lingga, dialah yang menggantinya dengan hal yang membuatku tersenyum. Bego ... bego ...
“It’s OK. Saya hanya menyampaikan apa yang saya rasakan,” katanya mengulang lagi. Aku kehabisan napas di gedung teater ini. Aku butuh oksigen sekarang juga. “Jika kamu tidak bisa menjadi kekasih yang saya cintai, kamu masih bisa menjadi teman yang saya sayangi,” lanjutnya membuatku membutuhkan tabung oksigen sesegera mungkin.