Gedung ramai oleh tamu undangan dan juga penonton yang sudah memenuhi semua kursi. Panitia terlihat sibuk sambil terus berkomunikasi lewat HT. Lalu aku bersama tim juga peserta lainnya masih di ruang rias, menunggu komando untuk tampil.
Aku kegerahan mengenakan mantel yang panjangnya selutut, belum lagi tebalnya kebangetan. Ini kostum khusus untuk detektif western yang dipakai saat musim dingin deh. AC yang nempel banyak di dinding pun tidak membantu. Apa ini karena gugup atau emang karena mantelnya. Gerah pisan kayak lihat Lingga pelukan sama si ... siapa gening? Lupa!
Samar-samar Kang Irwan Karyana terdengar sedang membuka acara dengan intonasi yang menggebu dan sesekali disetiap katanya terdengar ada candaan. Hebat sekali, yang jutek bisa sembuh mendadak kalau sudah bergabung dengan komunitas teater.
“Lima menit lagi,” teriak salah satu panitia yang menengokkan kepala dari balik pintu kemudian dengan sekejap pergi lagi.
Timku berkumpul membentuk lingkaran.
“Mantapkan lakon di jiwa,” katakku bersungguh, “dan tampilkan yang terbaik,” lanjutku seraya merentangkan tangan kanan ke tengah lingkaran. Semuanya menyambut uluran tanganku.
“Dan untuk Sundani yang pantas jadi emak kita!” seru Apip. Semuanya mengangguk semangat. Gundukkan tangan berayun ke udara.
“Terlahir untuk seni. Yaa!” seru kami.
Kami menuju panggung, tirai merah masih tertutup dan pemain segara mengambil posisi. Aku belum muncul, memilih berdiri di samping panggung sambil kegerahan dengan mantel dan juga topi deerstalker yang kegedean. Perlahan perutku terasa melilit, ah demam panggung.
Tepuk tangan penonton bergemuruh setelah Kang Irwan berseru; “Ini dia, penampilan pertama dengan judul drama ... Bully Noda Merah!” Ha! Judul yang menggelitik. Kurasa harus ada deterjen di sini.