Peristiwa-peristiwa berkeliaran dalam benak. Pemakaman Ambu, ‘istana’ Teater Wosh, malam sebelum pertunjukan dan senyuman bahagia dari orang-orang yang aku kenal. Apa artinya ini? Kenapa aku begitu senang ketika senyuman Oliv, John dan Lingga mengembang ke arahku. Belum lagi mata Lingga yang penuh dengan kepedulian membuat diriku ingin segera menghirup udara dalam-dalam.
Lah memang aku ini kenapa dan di mana juga? Apa aku sedang dalam adegan film atau sinetron yang penuh dengan cahaya putih? Apa aku juga mengenakan pakaian serba putih lalu pergi dan penonton marah serta kecewa karena karakter pemainnya tidak ikutan lagi shooting?
Kilasan peristiwa berjalan lagi dengan cepat sampai satu titik terang membuatku membuka mata. Ruangan bersih dengan bau obat yang baru disadari. Semua orang berkerumun. Terdengar ada yang memanggil dokter. Aku pun mengangkat kedua tangan yang ternyata sudah ditusuk oleh jarum infus. Kanul oksigen menempel di lubang hidung, segera kuhirup dalam-dalam oksigen yang menyegarkan itu.
Mataku berkedip-kedip menyesuaikan penglihatan. Samar-samar terlihat sesosok perempuan yang tampilannya acak-acakkan. Rambutnya diikat acak dan wajahnya nampak kucel sambil menatapku dengan melotot dan juga ada air mata di kedua kelopak matanya.
“Unda ya ampun!” Penglihatan pun pulih 100% ketika mendengar suara Olivia Nazawa. “Lu tuh ya hebat banget udah bikin semua orang khawatir. Apalagi gua kira permintaan maaf lu waktu di balkon itu adalah kata-kata terakhir lu,” sungutnya menghujaniku dengan kekesalan. Kepala dan perutku berdenyut bersamaan. “Syukurlah lu masih hidup Sundani! Gua panik selama dua minggu gara-gara lu koma!” seru Oliv lagi. Dua minggu koma? Woah, pisau mungil itu nakal juga ternyata.
Aku tersenyum lalu menarik napas dalam-dalam dari kanul oksigen. Rasanya mau bicara pun susah. Dua minggu koma membuat mulut ini kaku juga. Oliv mengusap halus rambutku dan duduk di sebelah ranjang.
Saat Oliv duduk terlihatlah John Holmes yang masih mengenakan topi kesayangannya. Dia nampak menatapku dengan binar lalu mengedipkan sebelah matanya persis seperti saat sebelum dia memelukku malam lalu.
Lalu di sebelah John ada Lingga Hanjuang Dirgantara. Orang yang aku cintai dan sayangi. Dia ada di sini, menemani dan entah apa yang dilakukan selama dua minggu. Apa Lingga membawa kekasihnya ke ruangan ini untuk menjengukku? Apa Lingga duduk di kursi yang Oliv gunakan di saat aku tertidur? Tapi sekarang yang harus kupertanyakan adalah, bagaimana dengan hatiku? Apa akan diabaikan, dibuang atau ditendang oleh Lingga? Tapi juga, aku bersungguh meminta ijin untuk tetap bisa cinta dan sayang. Gila memang.
“Maafkan aku sudah membuat kalian khawatir,” kataku serak, “tapi ada hal penting yang kalian harus tahu,” lanjutku menatap dalam Lingga. Iya, hal ini memang mengenai kasus Ambu.