Lingga berjaga di hari terakhirku rawat inap. Sebelum-sebelumnya hanya Oliv dan John.
“Gimana hubungan kamu sama dokter cantik itu?” tanyaku lalu menerima suapan agar-agar segar dari Lingga. Omong-omong, aku ini sudah sangat pulih, tapi rasanya momen manis Lingga ini membutuhkan sedikit akting.
“Kami sudah putus, An,” sahutnya lembut dan itu berhasil membuatku merasakan kesegaran seperti sedang duduk di bawah pohon rindang sambil minum es campur yang banyak alpukatnya. Lingga memamerkan senyum miringnya sambil mengelus rambutku halus.
“Naha kunaon?” tanyaku pura-pura kecewa. Padahal tidak kecewa sama sekali, yang ada tentu saja bahagia.
“Kamu tahu sendirilah, An. Kalau dokter cowok berjas putih itu ketampanannya meningkat drastis hanya dengan mengganti sepatu pantopel hitam dengan sneakers putih,” jawabnya sambil mengelus halus lagi rambutku.
“Yah, dia belum tahu kalau detektif kepolisian itu ketampanannya meningkat drastis ketika memborgol penjahat,” kataku menghibur. Lingga terkekeh sambil membawa tisu yang berada di nakas. Agar-agar sudah habis dan Lingga membersihkan mulutku dengan tisu.
“Bisa wae kamu mah, An,” komennya. “Kalau hati kamu yang diborgol mau nggak?”
“Ih gombal!”