Tempat keramaian malam. Arah pukul sembilan. Nggak jauh dari istana.
Send
Seketat-ketatnya aku menghindar dari pergaulan anak kota, akhirnya gagal juga. Sekarang aku sedang berjalan mengikuti Kang Irwan dari parkiran mobil menuju club malam. Dentuman suara pun terdengar membuat telinga jantungan.
Aku sudah hilang akal sampai bisa menginjak lantai tempat yang tampaknya menyenangkan dan suram di film-film itu. Dan setelah menunggu Kang Irwan berbincang dengan salah satu pelayan. Kami pun berjalan ke lorong yang jauh dari hingar-bingar manusia yang sedang berjoged-joged dengan iringan musik disko. Betapa aku bersyukur musiknya jenis elektro, karena kalau dangdut koplo, tubuh ini pasti sudah berada diantara kerumunan.
Kamar nomor 13. Kang Irwan membuka pintu dan menutupnya buru-buru. Ketika pintu tertutup, saat itu juga suara musik yang menendang-nendang lenyap. Mataku menelanjangi setiap sudut ruangan. Sofa panjang, meja yang terletak mic, minuman beralkohol, gelas khas, dan kudapan tersusun rapi di atasnya. Lalu ada TV LED besar dan juga lampu yang penerangannya tidak seperti di mal. Remang-remang.
“Sini duduk,” kata Kang Irwan sambil menepuk halus sofa berwarna merah. Aku pun nurut dan duduk di sampingnya. Dengan gerakan santai pula, Kang Irwan menyalakan lagi rokok lalu menuangkan minuman menyengat baunya ke dalam dua gelas.
Kang Irwan membawa satu gelas dengan jari masih mengapit rokok. Posisi duduknya mendekat ke arahku. Lalu, tangan kanannya meremas lembut pundak kiriku. Shit! Menjijikan! Cabul juga nih orang.
“Katanya suara kamu bagus, nyanyi dong buat gua. Lagu romantis gitu,” katanya dan sungguh aku merasa mual. Bapak-bapak yang sebentar lagi beruban ngomong gitu!
“Ah enggak, Kang. Akang saja yang nyanyi,” sahutku lalu menggeser posisi agar menjauh. Tapi pergerakanku mengundang Kang Irwan untuk semakin mendekat juga, bahkan sekarang remasannya kasar. Ya Tuhan, aku ternodai.
“Langsung aja atuh, ya,” katanya sambil mencondongkan wajah ke wajahku. Dengan begitu semakin jelas bahwa blewoknya sudah banyak beruban. Bau mulutnya tercium aroma rokok dan juga alkohol pun menusuk hidung. Aku sesak napas.
"Sebelumnya,” kataku berusaha untuk tetap tenang. Padahal ingin segera cepat menendang perutnya. “Sudah punya cucu berapa?” tanyaku dibalas dengan tertawanya yang tidak enak banget.
“Sundani, jangan risau. Gua masih top cer,” sahutnya semakin mencondongkan wajah. Aku menarik kedua lengannya dan dengan begitu wajahnya pun menjauh. Kulipat-lipat kemeja belel itu dengan lembut, membuat Kang Irwan terdiam memejamkan mata. Kemeja sudah terlipat sampai sikutnya, mata pun menyoroti lengan yang selama ini hanya tertutup kain.
“Lu udah nggak sabar ya. Oke, mari kita bersenang-senang!” seru Kang Irwan. Semua nampak nyata. Tut! Tut!