John sedang berada ditempat asalnya lahir. Katanya, meski tragedi kelam sampai membuatnya tinggal bertahun-tahun di Indonesia, dia juga kangen London. Terutama kedua orangtuanya.
"Saya akan berliburan ke London. Saya akan menemui Mom and Dad tanpa rasa kebencian. Saya juga akan menyampaikan bahwa saya memiliki kawan yang sangat cantik. Saya akan menceritakan ketika berliburan ke Sumedang. Saya juga akan membelikan kamu oleh-oleh,” katanya sebelum pergi ke bandara. Selain itu, John juga memberikan topi kesayangannya kepadaku. Dia memang rajin memberi topi kali ya. Aku berterima kasih sambil memeluknya. Lalu hatiku berbunga karena ada kata oleh-oleh, itu berarti John akan kembali.
“Satu hal lagi yang belum saya ceritakan. Maafkan saya sebelumnya karena tidak memberitahumu dari awal.”
“Apa, John?”
“Nama saya John Holmes Thompson. Ayah saya Thompson dan ibu saya Alice Thompson.”
“Salam untuk keduanya.”
Selain John, Olivia Nazawa pun berlibur keluar negeri bersama bundanya. Girls time.
"Gua mau liburan sama Bunda. Janda cantik nih dia,” katanya sebelum berangkat ke Korea. Ah elah kenapa aku tidak diajak sih. Akukan mau ketemu sama oppa-oppa tampan. “Gua di sana nggak nyampe seminggu. Gua juga nggak bakal lupa oleh-oleh buat lu. Elu juga jangan bikin onar di Jakarta, jangan bikin gua malu. Dan meski lu udah nggak takut sama pisau, elu tetep harus waspada. Meski elu udah aman dari pembunuh sialan itu, elu juga harus tetep waspada karena angka kejahatan di Ibu Kota lumayan tinggi.”
“Iya ... iya ... sudah sana pergi. Aku mau menikmati masa-masa tenang tanpa superbawelnya kamu, Liv,” sahutku lalu terkekeh.
Teater Wosh pun sama-sama liburan panjang. Biarkan saja tidak usah pulang membawa oleh-oleh, biarkan saja menjadi angin lalu. Karena aku dan John mendirikan ‘istana’ baru dengan nama Sanggar Teater Born for Art.
Lalu denganku? Apa aku liburan? Tentu saja.
Sekarang aku sedang duduk santai di atas pasir pantai. Suara ombak menemani tenang bersama Lingga Hanjuang Dirgantara yang duduk di sampingku. Pantai Pangandaran lumayan sepi dan momen ini sangat pas.
Lingga sedang cuti mengajakku ke Pangandaran, tempat di mana dia mengingkari janji dan pergi lama tanpa kata dadah. Tapi sekarang, perasaanku tidak lagi menunggu-nunggu ketidakpastian, tidak menunggu-nunggu Lingga untuk bicara, justru sekarang kami terus-terusan berbicara. Membicarakan perjuangannya meraih mimpi dan perjuanganku mendapatkan Lingga kembali, termasuk membacakan ribuan pesan-pesan singkatku.
"Sini si Enon-nya,” kata Lingga.
“Mau ngapain?”
“Dulu kamu sering nyanyiin aku, An. Sekarang aku yang kasih kamu nyanyian. Maaf tapi kalau suaranya nggak enak.”