Cakrawala memerah. Kepulan asap hitam membumbung ke angkasa, menutup gemintang yang tengah berpendar. Ratusan hektar padi yang siap panen berubah menjadi kawah neraka.
“Tanah kita telah dikutuk!” teriak warga pasrah.
Aku memandang pilu dari ketinggian. Angin malam tak sanggup menyiram sekujur tubuhku yang memanas. Kepalaku mendidih terbakar amarah.
“Kurang ajar!”
***
An, begitulah aku dipanggil. Usiaku enam belas tahun, berasal dari kampung Sungai Putih, sebuah daerah terpencil di Magelang. Bila engkau berkunjung ke kampungku, engkau akan melihat salah satu alasan mengapa Indonesia disebut sebagai tanah surga. Bila hari cerah, engkau bisa melihat gunung Merapi dari balik desa kami.
Kami tinggal di dataran tinggi, mayoritas masyarakatnya berkebun. Beberapa orang di antaranya beternak. Mereka berusaha memproduksi daging maupun susu sebanyak-banyaknya untuk dijual ke kota. Anugerah yang diberikan Allah kepada kami, tanah yang subur membuat kami bersyukur. Beberapa kali orang-orang berjas datang sembari mengatakan tanah kami kaya mineral.
Maklum. Ketika gunung Merapi mengalami erupsi, kampung kami selalu dilewati oleh lahar dingin. Beruntung seseorang berjasa telah membangun sebuah tanggul bagi kampung kami. Hal itu membuat masyarakat Sungai Putih tidak perlu was-was ketika banjir lahar dingin datang, tidak semalang kampung-kampung yang lainnya.
Aliran lahar dingin membawa beragam material, dari pasir sampai bebatuan. Beberapa orang memanfaatkannya untuk membangun rumah, masjid, hingga jalan. Sepertinya tidak hanya orang kampung saja yang datang. Beberapa kendaraan berat terjun ke sungai untuk mengeruk material tersebut. Entah mereka milik siapa, yang pasti kedatangan mereka telah mencabut ketenangan dari kampungku.
***
Di kampung, aku tidak tinggal sendiri. Selain berkawan dengan beberapa teman, aku juga tinggal di rumah Nenek. Entah sejak kapan aku bersama Nenek. Momen paling ujung yang aku ingat adalah ketika awal masuk Sekolah Dasar Negeri 1 Sungai Putih. Sulit bagiku untuk mengingat sebelum momen itu.
Bahkan aku tidak yakin, apakah aku memiliki orang tua. Bagaimana kondisinya sekarang, apakah Bapak atau Ibuku masih hidup, masih menjadi sebuah misteri. Aku mencoba bertanya kepada Nenek, tapi dia selalu membisu ketika bersinggungan dengan hal itu. Aku merasa ada bagian dari hidupku yang disembunyikan olehnya.
Di usiaku yang ke-16, aku memilih untuk bekerja sebagai buruh petani. Membantu para pemilik tanah untuk memanen hasil kebun atau menyiapkan lahan siap tanam. Sesekali aku mencoba peruntungan menjadi penambang pasir di sungai putih. Aku tidak sendiri, beberapa teman SD juga mengikuti jejakku.
Bila engkau bertanya mengapa kami tidak lanjut SMA atau bahkan kuliah? Engkau pasti bisa menebak, alasan klasik anak-anak kampung. Tentu, faktor utama adalah masalah ekonomi. Kami hanya bisa berpikir besok makan apa. Tidak seperti anak-anak lain di luar sana yang memiliki hak untuk bermimpi besar.
Di lain sisi, akses jalan ke kampung kami terbilang rusak parah. Lantaran kendaraan-kendaraan berat penambang pasir yang melintas. Sehingga hanya ada dua pilihan bagi kami. Bertahan dan berusaha di tengah keterbatasan atau merantau dan melupakan kampung halaman. Aku menganggap hina mereka yang menggadaikan kampung halaman hanya untuk sesuap nasi.
Tidak sedikit dari teman-teman kami yang lebih memilih untuk pergi. Alasannya, di kota hidup lebih mudah, lebih terjamin, dan tidak sengsara seperti di kampung, apalagi di kaki gunung seperti Sungai Putih.
Aku lebih memilih untuk bertahan. Walaupun ada hasrat yang meledak-ledak ingin angkat kaki dari Sungai Putih. Tapi tidak sesederhana itu. Secara tidak langsung aku terikat dengan Nenek. Beliau telah menemaniku dari kecil hingga kini.
Maka, hanya seorang pengecut yang meninggalkan orang-orang yang berjasa dalam hidup tanpa ada balas jasa. Tanpa gemerlap lampu-lampu kota, kami tetap bisa terus menyambung hidup di kaki gunung Merapi.
***
“Dari mana, Mas? Kok lama?” sapa Tata dari kejauhan.
Aku melempar senyum ke arahnya. Tata adalah perempuan tegar. Ia bernasib sama sepertiku, tidak punya kesempatan untuk merantau. Ia harus merawat dua adiknya, sementara orang tuanya berpisah. Di balik masalah demi masalah yang ia derita, Tata tetap memasang senyum manis di wajahnya. Ia adalah perempuan pengubah kesedihan menjadi kegembiraan.
“Mau ke kebun Pak Somad,” jawabku.
Aku kemudian mendekat ke tempatnya. Ia tengah sibuk memetik cabai dengan beberapa buruh lainnya. Wajah putihnya nampak bersinar diterpa matahari pukul sembilan.
“Dapat banyak, Neng?” aku menurunkan cangkul yang dari tadi menggantung di pundakku.
“Alhamdulillah, Mas. Lumayan bisa buat makan besok.”
Aku mengangguk sembari memandang cabai-cabai merah yang mewarnai hijaunya lahan.
“Pak Somad mau menanam semangka ya?” tanyanya sembari terus memetik.
“Eh, kurang tahu, Neng. Gimana kabar adik-adik sehat?”