Mari mundur tiga tahun ke belakang. Tepatnya kita aku dan teman-temanku duduk di bangku terakhir SMP. Setiap sore, kami menghabiskan waktu bermain bola di lapangan. Ngomong-ngomong tentang lapangan, nampaknya tidak sesuai dengan yang engkau bayangkan.
Bila engkau membayangkan sebuah lapangan adalah lahan datar yang berisikan rumput hijau, maka engkau salah besar. Pola pikir kami sangat simpel. Di mana ada tanah lapang, disitu bola dapat digulirkan. Mulai dari depan sekolah, depan rumah haji Somad, sampai lapangan dekat Sungai Putih.
Kami bahkan tidak membutuhkan sebuah bola untuk dimainkan. Selagi bisa ditendang, disitu laga dimainkan. Beberapa bola yang sering kami mainkan adalah kaleng minuman soda, botol air mineral, sampai toples kaleng bekas lebaran.
Tak jarang jempol kami berdarah lantaran salah tendang. Oh iya, kami tidak memakai sepatu. Telapak kami langsung menjejal tanah. Tidak ada tiang gawang. Sering kali kami berdebat dengan aturan yang berisi tanpa aturan. Seperti tinggi gawang menyesuaikan ukuran kipernya hingga azan Magrib menjadi pluit panjang berakhirnya pertandingan.
***
Sore itu, Ade dan Rona terlebih dahulu sampai di lapangan. Aku menangkap siluet mereka yang tengah duduk-duduk di batu besar sisa tambang. Lapangan itu terletak tak jauh dari bibir sungai putih. Luasnya sekitar 1/64 dari lapangan bola sungguhan. Beberapa alat-alat berat sering menjadi properti tambahan di lapangan.
“Mantap, udah sampai duluan!” teriakku dari belakang.
“Oh, ya jelas. Sebelum ibu-ibu mengambil alih,” ucap Ade bangga.
Aku mengacungkan dua jempol ke udara.
Bagi kami, lapangan di sore hari layaknya harta karun. Siapa cepat, dia yang berhak menggunakannya. Bila anak-anak seperti kami terlambat berangkat, maka segerombol ibu-ibu kampung akan memakainya. Berkumpul di atas tikar sembari ngobrol banyak hal, dari gosip negara sampai keluarga.
Dan batu besar yang telah diduduki Ade dan Rona adalah penandanya. Siapa yang pertama kali duduk di sana, dia yang berkuasa. Entah sejak kapan peraturan itu ada. Sepanjang hidupku, belum ada cerita baku hantam dari sana. Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi wakil rakyat kita.
Beberapa anak kampung sebelah mulai berdatangan. Tidak hanya anak sekolahan, bahkan buruh seusia kami pun mengkosongkan sore hari untuk bertanding bola. Maklum, gengsi antar kampung cukup tinggi, apalagi di tengah perlombaan agustusan.
“Eh, bawa kaleng atau botol?” tanya Ade.
“Kita nggak bawa apa pun, Boi.”
“Lah, kalau si Udin nggak datang, habislah kita,” komentar Rona.
Udin, anak haji Somad, pemilik satu-satunya bola di kampung kami. Hanya kepadanya kami semua bergantung, untuk bermain bola sedikit lebih layak. Ada dua alasan yang menghambat dia datang.
Pertama. Salah satu agenda wajib Udin adalah tidur siang. Sekali tidak tidur siang, ia akan kena marah ibunya ditambah ngantuk esok harinya. Masalahnya, Udin suka kebablasan. Entah apa mimpinya, sampai gempa pun nampaknya tidak bisa membangunkannya.
Alasan kedua. Posturnya yang agak beda membuatnya jadi bahan ejekan. Bila masa sekarang, mungkin sudah body shaming. Sekesal-kesalnya kami, kosakata memaafkan tetap tersedia di relung hati. Barangkali anak-anak hari ini perlu belajar dari pendahulu mereka, bagaimana menghapus dendam tentang ejekan.
Aku masih ingat betul, hanya ada dua jenis panggilan kala itu. Selain karena tubuh—misal ireng (hitam), gendut, pendek, dan semacamnya—nama orang tua pun dijadikan turut serta. Namun, untuk yang bagian kedua tidak berlaku buatku. Mereka tidak tega memanggilku dengan nama nenekku. Mereka tidak pernah tahu nama ayah dan ibuku, begitupun denganku.
“Wah, Udin datang!” teriak seorang anak.
Kerumunan kami kompak memandang arah timur. Seorang anak gempal membawa bola di sampingnya. Bayangan yang mengikuti langkah kakinya, begitu segan layaknya pahlawan.
“Mirip angka 8 miring,” celetuk Ade.
Ketawa kami pun pecah. Brillian juga ejekannya. Nampaknya Rona sudah memasukkan kosakata itu di kamus bullying miliknya. Beberapa anak berlari mendekatinya. Alih-alih menyambutnya, ia justru mengambil bola dari lengannya dan menendangnya ke udara. Game on.
Begitulah. Setiap bagian dari hidup manusia adalah tentang kepentingan. Engkau tidak akan mendekati seseorang bila engkau tidak memiliki keperluan dengannya. Saat itu, aku menganggapnya sebagai hal yang wajar. Namun, beranjak dewasa membuatku sadar betapa hal mulia dapat dikotori oleh busuknya kepentingan.
Matahari mulai merendah di kaki langit. Kami pun segera memulai pertandingan. Setiap tim mendapatkan jatah 5 orang. Bagi anak yang baru datang, harus sabar di bangku cadangan. Menunggu satu anak lagi untuk mengimbangi komposisi tim.
Peraturannya adalah tidak ada peraturan. Kami bebas melakukan apa pun. Pelanggaran hanya terjadi bila penonton berteriak pelanggaran. Para pemain dihakimi oleh penonton. Ya, ketika bola digulirkan anak-anak pasti akan berdatangan. Mulai dari mereka yang berniat nonton atau sedang bersepeda santai.
Kalau dipikir-pikir, konsep bermain bola kami kala itu, perlu dijadikan pelajaran bagi anggota dewan hari ini. Mau diadili oleh rakyat karena mereka adalah wakil rakyat. Mendengarkan keluh kesah masyarakat, bukan menutup telinga rapat-rapat.
Komposisi tim dibagi berdasarkan kampung. Aku, Ade, dan Rona adalah trio perusak pertahanan lawan. Sementara Udin adalah kiper abadi. Bukan karena dia jago—walaupun ada beberapa momen dia beruntung bisa menyelamatkan gawang dari kebobolan—tetapi alasannya karena postur.
Game on. Pertandingan benar-benar dimulai.
Kaki-kaki telanjang kami menari-nari di atas tanah kering. Bola terus bergulir mengarungi lapangan. Jual-beli serangan menjadi hal yang lumrah terlihat. Semakin sering peluang tercipta, semakin terdengar sorak-sorai penonton.
Beberapa kali, Rona harus turun jauh ke belakang menahan gempuran tim lawan. Namun, pertahanan kami tembus juga. Udin pun tak sanggup menjangkau bola yang mengarah ke sudut gawang imajiner.
“Goal, goal,” teriak penonton kompak.
Rona sempat protes. Tinggi Udin tidak sampai menjangkau area itu. Artinya, bola lewat di atas tiang gawang. Namun, penonton sepertinya tidak peduli dan tetap satu suara kompak. Dengan raut kecewa, Rona pun menendang bola ke tengah lapangan.
Menarik. Ada satu alasan mengapa kami begitu percaya dengan keputusan penonton. Walau kami juga yakin, peluang salah dalam mengambil keputusan senantiasa ada. Namun, kami mengesampingkan masalah itu. Karena, pertandingan kami bermakna gara-gara kedatangan mereka. Itulah mengapa kami meletakkan rasa saling percaya di atas altar utama.
Kalau dipikir-pikir lagi, anggota dewan sangat bisa mengambil pelajaran dari pengalaman masa laluku. Bila mereka ingin dipercaya sudah sepantasnya menumbuhkan rasa percaya di tengah masyarakatnya. Menerima social control dan kritikan yang datang. Toh, namanya wakil rakyat juga ada karena rakyat.
Lupakan sejenak masalah anggota dewan. Mereka tidak akan mendengar, musim kampanye telah usai. Mari kembali menikmati pertandingan.
“Ayok, balas!” teriakku sembari beberapa kali menepuk tangan.
Bola sudah berada di tengah. Penonton berteriak mulai. Ujung kakiku langsung menyentuh bola dan memberi operan pendek kepada Rona. Ade dan Aku merangsak maju. Rona mencoba membuka jalan melalui sisi kiri pertahanan.
Beberapa kali kaki-kaki lincah Rona memamerkan skillnya. Sorak-sorai penonton semakin ramai. Inilah tontonan yang sangat dinanti setiap sore. Bola seperti menempel di kaki Rona. Pemain lawan pun frustasi tidak bisa merebut bola darinya.
“Sudah cukup pamernya, oper!” teriak Ade kesal.
Aku hanya bisa tersenyum melihat kekesalan Ade. Sekilas, memang sepak bola adalah permainan tim. Namun, penonton biasanya lebih suka melihat seorang pemain dari pada sebuah klub.
Buktinya? Penghargaan pemain terbaik lebih bergengsi dari pada tim terbaik. Nampaknya tidak adil. Toh, seorang pemain mendapatkan titel tersebut juga karena pemain lainnya. Tidak mungkin dia juara seorang diri. Tidak mungkin. Tapi, ya, seorang idola cenderung hanya satu, bukan berkelompok.
Kami hanya bisa menunggu Rona sampai puas mendapatkan pujian dari penonton. Itu pun bila ia mau mengoper. Seringnya dia membawa bola ke gawang lawan seorang diri. Praktis aku dan Ade bersaing menjadi properti lapangan.
Penonton riuh rendah melihat Rona mempermalukan pemain lawan. Berkali-kali pertahanan lawan jatuh bangun, berusaha menghentikannya. Beberapa kali, bola memantul ke batu-batu besar di pinggir lapangan. Ini trik yang umum digunakan oleh anak kampung untuk mengecoh lawan. Rona yang paling ahli melakukannya.
Nampaknya kekesalan Ade memuncak. Ia mendekat ke Rona yang mencoba melewati tiga pemain lawan sekaligus. Sebenarnya, tiga anak tersebut sudah berkali-kali dilewati oleh Rona, namun terus diulang dengan berbagai macam trik. Maklum, penghamba tepuk tangan penonton.
Sorot mata Ade menangkap gerak-gerik Rona. Ia yakin, trik itu akan dilakukannya lagi. Ade kemudian berlari melewati tiga pemain. Mengambil posisi di mana bola itu akan datang. Tepat, Rona kembali melakukan trik itu.
Kali ini tiga pemain tidak mau dibodohi. Mereka memilih membangun blokade. Walaupun sekujur tubuh penuh tanah karena berulang kali jatuh, kali ini Rona tidak boleh lepas. Bukan bola yang mereka incar. Tapi, bagaimana merubuhkan orang yang mempermalukan mereka.
Benar saja, tiga pemain tersebut kompak menahan laju Rona. Tumbukan tidak dapat dihindarkan, mereka sontak terjatuh.
“Huuu,” teriak penonton.
Tiga pemain lawan nampak puas. Rona meringis kesakitan. Namun, senyum mereka langsung luntur mendengar sorak-sorai penonton. Sedetik kemudian Ade berhasil mengontrol bola tersebut.
Tanganku melambai ke udara, memberinya kode. Ia melihatku berdiri kosong tanpa penjagaan. Tanpa berpikir panjang, Ade langsung mengirim umpan udara. Aku sedikit ragu. Apakah menyelesaikan dengan kepala atau kaki.
Kiper lawan keluar dari sarangnya dan langsung melompat. Tanpa berpikir panjang, aku pun ikut melompat. Perebutan bola di udara tidak terelakkan. Penonton bergemuruh melihat apa yang terjadi di lapangan.
Beruntung, aku memiliki postur yang lebih tinggi. Bola lebih dulu terjangkau oleh kepalaku. Kiper lawan terkecoh dan bola masih melayang di udara. Aku sengaja tidak menanduknya, hanya mengubah arah bola agar tidak tertangkap kiper.
Masih di udara. Aku memutar badan dan melakukan tembakan gunting.