Laksana Angkasa

Syafi'ul Mubarok
Chapter #3

Langit Merapi

Pelupuk mataku begitu berat untuk terbuka. Kepalaku berdenyut sakit sekali. Pandanganku mendadak kabur. Aku pun menguceknya beberapa kali. Poster spiderman, itu yang pertama kali aku lihat.

Aku berangsur sadar. Sejak kapan di rumah ada poster kartun dan beberapa mainan yang sepertinya mahal, berjejer rapi di dinding. Bahkan aku tidak ingat, apakah di rumah Nenek ada kasur seempuk ini.

“Sepertinya An sudah sadar,” ucap seseorang di ujung ruangan.

Mereka berbondong-bondong mendatangiku. Aku yakin ini bukan rumah Nenek. Tidak mungkin dinding bambu bertransformasi menjadi tembok dalam semalam. Begitu juga dengan lampu kerlap-kerlip, kipas angin, bahkan televisi.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya seseorang dengan nada berat.

Walaupun mereka dekat dengan tempatku terlentang, namun penglihatanku masih belum terlalu jelas. Aku mengucek mata sekali lagi.

“Jangan kebanyakan diucek.”

Aku mencoba bersandar untuk memompa kesadaran. Sepertinya aku masih mengenakan pakaian yang basah kuyup. Tanganku meraba daerah nyeri di sekitar punggung, seperti bekas pukulan.

“Tadi, kamu melihat apa, An?”

Ah, itu suara Pak Somad, ayah Udin. Pasti ini adalah kamar dia.

“Mata merah,” jawabku pendek.

“Tuh kan, Dad, pak tua penjaga sungai putih itu nyata,” ucap Udin.

Dad? Manja juga si Udin.

Tak jauh dari Udin, ada Ade dan Rona yang duduk sembari mengangguk sepakat.

“Tuh kan, tuh kan, kalau udah magrib balik, jangan malah main di sungai putih.”

“Bola Udin, Dad.”

Pak Somad menghela napas panjang.

“Sudah-sudah, maklumi saja, masih anak-anak, penting selamat.” Seorang perempuan muncul dari balik pintu sembari membawa nampan.

“Terima kasih, Tante,” ucap Ade dan Rona setelah disuguhi es teh manis.

Aku pun turut melempar senyum terima kasih.

“Oh iya, Pa, pak Jaya sudah menunggu di ruang tamu.”

Pak Somad pun bangkit dan meninggalkan kami, begitu juga dengan bu Rara. Kini hanya tinggal kami berempat.

“Eh kamu tadi diapain?” tanya Udin penasaran.

“Dia dipukul sama sekop” jawab Rona ringan.

“Kamu melihatnya?”

“Ya jelas, kamu sih, keburu lari, enggak setia kawan,” Ade berkomentar sinis.

‘Lah, kan kamu juga!” Udin nampak marah.

“Udah, sesama penakut nggak usah berisik.”

Telak. Rona menunda perang berkecamuk. Udin dan Ade tersipu malu.

“Cukup, jadi bagaimana kelanjutan ceritanya?”

“Aku melemparnya dengan batu, pas di matanya. Setelah dia memukul kamu sih.”

Aku mengangguk paham.

“Tumben, kamu enggak takut?”

“Ya sebagai seorang kawan ya, apalagi kamu sudah berkorban walaupun itu bukan kesalahanmu.”

“Nah, tiru tuh Rona, main lari aja.” Ade kembali memantik api.

“Eh, kamu juga!” Udin masih tidak terima.

“Kan duluan kamu.”

“Ihhh.” Udin mencoba melayangkan pukulan, beruntung Ade bisa menghindar.

“Sudah ah, ribut mulu kaya anggota dewan.”

Aku pun mencoba bangkit.

“Mau kemana, An?”

“Mereka lagi bahas apa? Serius amat,” tanyaku sembari melihat ruang tamu.

“Aku mendengar dari Dady, katanya ada orang kota yang mau lihat Sendang Biru.” Udin memberi penjelasan.

“Dady.” Ade mencoba menirukannya hingga tergelak.

Kuakui, pukulan Udin kala itu lumayan presisi. Cukup untuk membuat Ade memegangi rahangnya. Tidak mungkin juga ada tinju balasan, atau kami keluar dari rumah Udin detik itu juga.

Sssst. Aku menyuruh mereka memelankan suara. Kami menguping percakapan orang dewasa dari celah pintu.

“Eh, kata Mami, enggak boleh penasaran sama urusan orang dewasa.” Udin kembali membuka mulut.

“Kamu enggak curiga gitu sama orang asing? Orang kota lagi,” ucapku kesal.

“Siapa tahu dia menawarkan bantuan, kan.”

“Aku tidak melihat ada sembako di sana, lagian ini bukan musim pemilu.” Rona turut berkomentar.

Benar juga yang dikatakan Rona. Hanya ada dua alasan orang kota mengunjungi kampung kami. Ketika Merapi erupsi atau ketika pemilu untuk merayu suara. Sungguh ini sangat mencurigakan.

“Wuih, banyak duit, merah-merah.” Mata awas Ade pertama kali menangkap dua koper berisi segepok uang.

“Wah enggak beres ini, Din.”

Pak Jaya, selaku kepala kampung, menjabat tangan orang asing itu, begitu juga dengan Pak Somad.

“Kamu tahu, kenapa kita harus ikut campur urusan orang dewasa? Karena uang itu melenakan, boi.” Aku mencoba menasehati mereka.

“Kamu ahlinya, An. Aku sepakat, aneh bila tidak ada barang tiba-tiba terjadi jual beli. Atau mungkin...”

Aku memaksa Ade untuk menutup mulutnya walau ia belum selesai bicara. Takut mereka tahu ada bocah-bocah yang mengintip di balik pintu.

“Mereka harus kita kawal,” ucapku mantap.

“Aku enggak ikut ah, An. Bukan urusan kita.” Udin berkomentar.

Aku benci orang-orang yang tidak peduli. Justru di sanalah peluang terjadinya perampokan demi perampokan uang rakyat. Ketika orang-orang baik memilih bungkam.

“Orang dewasa terkadang suka semena-mena dengan jabatan.”

“Lha kenapa harus kita? Kan masih ada pak Polisi.”

“Soalnya hati kita masih suci, belum terbeli sama tipu daya dunia. Gitu aja enggak tahu, makan mulu sih,” ejek Ade.

Aku mengangguk sepakat. Tumben nalar Ade sejauh itu. Gelak tawa khas orang dewasa menggema di ruang tamu. Tanganku memberi isyarat diam ke mereka yang nampaknya akan benar-benar perang.

“Tapi kita butuh dua orang tambahan untuk mengangkat beberapa alat, kan mobil enggak bisa ke lokasi,” ucap orang asing itu.

Lihat selengkapnya