“Perhatian untuk Bapak/Ibu penumpang yang ingin membeli makan siang, ke kamar kecil, atau mengambil uang di ATM, kami sudah sampai di tempat pemberhentian Bus Patas Efisiensi Kebumen. Kami akan istirahat 10 menit, silahkan digunakan sebaik-baiknya.”
“Sekali lagi…. Perhatian untuk Bapak/Ibu….”
Bus berwarna oranye-putih dengan kapasitas 36 penumpang itu berhenti di salah satu tempat pemberhentian di Kebumen. Bergabung dengan beberapa bus lainnya yang sudah lebih dulu singgah. Sekadar beristirahat barang sepuluh menit, memberikan kesempatan bagi penumpang untuk turun. Membeli makan siang, mengambil uang, atau membungkam seruan panik dari seorang ibu yang sejak tadi anaknya merengek ingin buang air.
Gadis di kursi nomor sembilan mengerjapkan matanya beberapa kali. Sinar matahari akhir Agustus sedang terik-teriknya, puncak kemarau. Gorden yang terpasang di sepanjang kaca tidak mampu menghalau sinarnya untuk menerobos masuk dan mengganggu tidur siangnya. Juga seruan dari kondektur yang menggema di sepanjang bus memaksanya untuk bangun.
Nama gadis itu Sinta Larasati. Berusia awal dua puluhan yang baru saja diwisuda dari salah satu kampus terbaik di Yogyakarta. Menyelesaikan program Diploma III tepat waktu.
Keluarganya hadir di acara wisudanya dua minggu lalu. Turut merayakan kelulusannya. Senyum-senyum cerah tanpa beban menyapanya saat dia baru saja keluar dari gedung Grha Sabha Pramana sembari membawa ijazah kelulusan. Termasuk si sulung yang pada mulanya menentang keputusannya untuk mengambil kuliah.
“Untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi kalau nanti ujung-ujungnya mengurusi rumah tangga? Buang-buang duit. Kerja saja, ke luar negeri sana, jadi TKW. Nanti duit hasil kerjamu bisa untuk modal hidup.”
Begitu yang dikatakannya saat Sinta baru saja menerima pengumuman gagal dalam SBMPTN. Dan kalimat-kalimat semacam itu juga yang sering kali diucapkan oleh para tetangga. Yang entah bagaimana, terlihat begitu kelebihan waktu sampai mau repot memikirkan rencana masa depan orang lain.
“Lagian biaya kuliah Sinta ditanggung Ibu dan Mas Bagas. Nggak buang-buang duit Mas Arya tuh,” ujarnya meledek sembari mengelap meja dapur yang baru saja digunakan untuk makan siang.
Arya meliriknya sinis. Kesekian kali kalimatnya ditanggapi celetukan santai oleh adik bungsunya. Di antara keempat adiknya, Sinta satu-satunya yang berani menentangnya. Bahkan si kembar Bima dan Bagas, yang sudah sama besarnya dengannya, tak pernah menentang kalimatnya. Setiap kali Arya mengatakan pendapatnya, si kembar hanya akan mengangguk-angguk dan menurut saja. Apalagi Sekar, kakak di atas Sinta persis, seolah tak pernah punya daya untuk sekadar mengatakan tidak. Sedangkan anak kecil itu seperti tak pernah kehilangan kalimat untuk menentangnya.
Pertentangan pertama kali bahkan dilakukan anak kecil itu di usia lima belas tahun, saat baru saja lulus dari sekolah menengah dengan peringkat sembilan paralel. Arya bersikeras agar Sinta melanjutkan sekolah menengah atasnya ke pesantren, bekas pesantren istrinya. Namun bukannya menurut, Sinta malah mendaftar di salah satu SMA negeri di kabupaten tetangga. Pamit ingin mengambil ijazah di SMP-nya, malah mengambil jalan berlawanan menuju sekolah barunya.
Selisih beberapa hari setelahnya, Sinta pulang membawa selembaran kertas daftar ulang. Memberikannya pada Ibu sekaligus mengabari kalau dia sudah diterima di SMA negeri dari kabupaten tetangga itu.
“Loh, kamu sudah dapat sekolah? Ibu kira akan ke pesantren saran dari kangmasmu,” ujar Ibu sembari melihat berapa biaya yang harus dikeluarkannya.
Sinta menggeleng. “Bukan saran, Bu. Itu pemaksaan.” Dia melepas sepatu dan kaos kakinya lalu beralih ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan kaki. Begitu usai dengan rutinitas bersih-bersih, Sinta kembali bersuara, “Lagian yang mau sekolah ‘kan Sinta, kenapa dia yang ngotot?” ujarnya tak terima. Mengambil segelas air putih dan menenggaknya sampai tandas.
“Ibu nggak keberatan, ‘kan? Kalau keberatan, Mas Bagas yang akan menanggung biaya sekolah Sinta, sekaligus uang saku setiap harinya, dan Mas Bagas janji kalau di semester pertama nilai Sinta bagus, Sinta akan dibelikan hp baru,” serunya dengan nada sombong. Membanggakan salah satu kakak laki-laki yang paling dekat dengannya. Kalau diingat-ingat memang barang-barang Sinta selalu Bagas yang membelikan.
Mulai dari sepeda baru yang dia dapat di kelas enam SD. Sepeda mahal yang zaman itu paling kinyis-kinyis di antara semua sepeda milik teman-teman di desanya, boneka kucing besar yang Bagas gunakan untuk menyumpal mulut si bungsu yang merengek minta memelihara kucing, tapi mendapat penolakan tegas dari Ibu dengan alasan utama, “Nanti pasti Ibu yang harus buang kotorannya.” Sampai laptop yang Sinta gunakan untuk belajar TIK di rumah. Walaupun laptopnya second tapi masih bagus dan lancar untuk belajar.
“Loh ya ndak. Ngapain minta Bagas bayar biaya sekolah kamu, wong warung Ibu masih ramai. Uang Ibu masih cukup untuk biaya sekolah sampai kamu lulus.” Ibu tak mau kalah. Sedikit menyombongkan warung sembakonya, yang seusia Sinta, masih sangat ramai dan cukup untuk membiayai kehidupan mereka.
Sinta tertawa geli melihat respon ibunya. Tawa yang bahkan masih bisa dia rasakan sekarang, hanya dengan membayangkan percakapan itu.
“Mbak, ada yang bisa saya bantu?”
Perhatian Sinta beralih sekaligus menghentikan bayangan masa lalu yang hadir begitu saja dalam ingatannya. Bagian dari tim bus di Kebumen sedang mengecek jumlah penumpang sembari membawa kertas-kertas yang dijepit di atas tatakan kertas dari kayu tipis. Mungkin keheranan mendapati Sinta yang senyum-senyum sendiri di kursinya.
“Oh, nggak, Pak.”