Awalnya, Sinta tak pernah memiliki niat untuk pulang setelah lulus dari pendidikannya. Begitu dia diwisuda yang dihadiri keluarganya, dia hanya membual akan menyusul pulang setelah mengurusi berkas-berkas kelulusan. Dua minggu itu Sinta gunakan untuk menyusun rencana masa depannya. Ingin segera melanjutkan perjalanan, tanpa perlu menengok kembali apa yang terjadi di belakang.
Sinta ingat betul nasihat dari salah satu dosen mata kuliahnya di satu hari saat Sinta mengikuti kelasnya, “Mas, Mbak, khususnya yang perempuan ya, kalian ‘kan sudah berada di semester akhir, sebentar lagi lulus. Ibu hanya ingin memberi tahu kalau setelah lulus nanti, hari-hari kalian tidak akan lagi sama seperti sebelumnya. Begitu kalian dinyatakan lulus, kalian akan sampai di gerbang kehidupan yang sebenarnya.”
Sinta tentu saja mengerutkan kening tak mengerti, bukankah setiap hari memang tak pernah sama, lalu apa bedanya?
“Kalau diibaratkan, selama kalian menempuh pendidikan, kalian sedang dilatih untuk berenang. Diberi pembelajaran mengenai bagaimana cara berenang, tekniknya, pengambilan napasnya, pengaturan kecepatannya, dan lain sebagainya. Tapi pembelajaran ini hanya dilakukan di kolam renang. Begitu kalian lulus nanti, kalian akan dilepas di lautan yang luas. Dengan modal pembelajaran yang sudah kalian pelajari sebelumnya, kalian harus siap menghadapi tantangan-tantangannya, entah badai, ombak, angin, binatang buas, atau apapun yang akan menghadang perjalanan kalian nanti.”
“Itu kedengaran tidak adil, ‘kan? Dan ya, itu memang tidak adil, apalagi bagi perempuan. Kita hanya diberi seujung kuku pembelajaran dari kehidupan yang sebenarnya, dengan teknik-teknik terlalu sederhana untuk menghadapi tantangan yang kita tidak pernah tahu akan sebesar apa.”
“Tapi, Mas, Mbak, Ibu bisa jamin kalau karakter kalian yang dibentuk oleh pendidikan, pola pikir kalian yang dibentuk atas proses pembelajaran yang kita jalani selama ini, akan mampu menjadi bekal utama kalian dalam menghadapi dunia yang luas.”
“Yang harus kalian pegang, pendidikan lebih dari sekadar transfer ilmu pengetahuan. Karena kalau sekadar ilmu pengetahuan, kalian bisa mendapatkannya di mana saja, kalian bisa hanya membaca dari buku atau jurnal-jurnal yang biasa kalian akses untuk mengerjakan tugas. Pendidikan juga bukan sekadar menempuh rutinitas selama bertahun-tahun demi lembaran ijazah. Pendidikan tidak akan punya arti apa-apa kalau hanya sekadar gelar atau lembaran kertas. Atau bahkan hanya dijadikan prasyarat mendaftar pekerjaan. Tapi pendidikan itu tentang bagaimana karakter kalian dibangun, tentang bagaimana kalian berkomitmen untuk menjadikan karakter itu sebagai bagian dari hidup kalian, dan berani menolak hal-hal di luar karakter kalian.”
“Tetap menjadi anak-anak yang baik, yang punya karakter bentukan dari proses pendidikan. Tetap tunjukkan kalau kalian adalah anak-anak terdidik, walau mungkin nanti dunia tidak akan sebaik itu dalam memperlakukan kalian.”
Pada awalnya mungkin Sinta tak paham, tapi dia berjanji akan mengingat kalimat itu dengan jelas. Bukan karena itu adalah pembahasan yang menarik. Tidak sama sekali. Daripada menarik, pembahasan mengenai gerbang kehidupan yang sesungguhnya benar-benar terdengar mengerikan.
Hanya saja dosennya terus mengulang-ulang kalimat yang sama, setahun terakhir, setiap kali Sinta mengikuti kelasnya. Jadi mau tidak mau, dia terus mengingatnya dengan jelas. Jadi bisa dibilang, mungkin—karena jelas Sinta belum mengalaminya secara langsung—kalimat itu ada benarnya. Atau setidaknya dia punya pengingat sebelum benar-benar berenang di lautan lepas.
Dan karena hal itu pula, Sinta memutuskan tak akan pulang. Jika kehidupan setelah lulus adalah gerbang kehidupan yang sebenarnya, yang penuh tantangan dan hambatan mengerikan seperti yang dikatakan dosennya, Sinta tidak mau ambil risiko untuk kembali ke lingkungan rumahnya. Dia menolak sakit hati mendengar kalimat-kalimat buruk yang mungkin akan kembali hadir, seperti yang pernah didengarnya tiga tahunan lalu. Dia menolak menghadapi dunia yang sebenarnya bersamaan dengan suara-suara sumbang yang mengiringi prosesnya. Dan pilihan untuk tetap berada di perantauan adalah hal paling tepat yang terpikirkan, begitu rencana awalnya.
Hanya saja, kalimat Bagas melalui telepon empat hari lalu seolah memaksanya untuk pulang dan membuatnya goyah. Satu-satunya alasan dia pulang adalah Ibu. Sekadar mengunjungi barang satu minggu untuk melepas kerinduan dan istirahat sejenak sebelum kembali melangkah ke tahap selanjutnya.
“Sinta mau ekstensi, Mas. Harus langsung cari kerjaan biar uangnya bisa ditabung untuk biaya ekstensi. Adanya di Jakarta sama Surabaya, dan biayanya nggak sedikit,” jawabnya melalui telepon di hari ke sepuluh setelah wisuda.
Sebenarnya Bagas sudah memintanya pulang sejak hari-hari lalu yang tak pernah mendapatkan respon sesuai harapan. Sinta harus mengakui, kalau sifat pantang menyerah kakaknya itu memang patut diacungi jempol. Penolakan-penolakan yang Sinta ajukan di hari-hari sebelumnya tidak membuat Bagas gentar sama sekali. Malah terus menghubunginya, setiap hari, dan tentu saja membuat Sinta risih.
Dua minggu di Jogja, Sinta menumpang di rumah ibu kosnya. Karena memang sewa kosnya sudah habis sejak Juni akhir. Tapi Bu Dina mengizinkannya tinggal di rumahnya jika masih ada yang harus diurusi, daripada mencari kos lain dan akan membuatnya kembali mengeluarkan uang, akhirnya dia menerima tawaran ibu kosnya.
“Biar Mas Bagas yang pikirkan biaya ekstensi kamu. Sekarang pulang dulu.” Bagas berujar memohon. Dia tak pernah mengira sebelumnya jika adik bungsunya yang tidak pernah keluar rumah dan tidak pernah jauh dari jangkauan Ibu, akan langsung berloncatan jauh dan enggan berbalik. Untuk seorang putri bungsu yang baru pertama kali merantau dan jauh dari keluarga, Sinta termasuk yang jarang pulang. Dia memang rutin menelepon, setiap malam Minggu, tapi tidak untuk pulang.
Hal itu juga yang membuat para tetangga berseru kagum. Karena sebelumnya mereka pikir Sinta tak akan betah di perantauan dan merengek minta pulang. Seperti apa yang terjadi pada Sekar saat SMA.
Sinta gerah mendengar kalimat-kalimat meremehkan itu. Kalau ada kesempatan dia bahkan ingin memberitahukan pada banyak orang kalau bungsu perempuan tidaklah semanja yang biasa didengar dari orang-orang. Orang-orang itu, yang entah siapa, memang suka sekali berkata-kata tanpa tahu kenyataan yang sebenarnya. Sampai seenaknya melabeli jika bungsu perempuan adalah anak paling manja yang punya banyak privilege. Jika memang orang-orang yang entah siapa itu yakin dengan kalimatnya, coba saja tantang mereka untuk menjadi bungsu perempuan dan rasakan sensasinya.
Pada saat para bungsu perempuan menemui masalah atau persoalan dalam hidup mereka, percayalah mereka tak akan merengek atau bahkan sekadar mengadu pada orang terdekatnya sekalipun. Mereka akan memilih menyelesaikan masalahnya sendiri, karena mereka sadar sepenuhnya jika masalah yang mereka hadapi adalah satu bagian dari hidup yang merupakan tanggung jawab mereka sendiri.
Mungkin mereka akan menangis dalam prosesnya. Karena jelas siapa pun berhak menangis saat dilanda kesulitan. Tapi bahkan tangisan mereka tak pernah sampai terdengar telinga manusia lain. Mereka akan berkali-kali mengatakan, di tengah kebingungannya, di tengah rasa sakitnya, terus berbisik pada hati terdalamnya bahwa, “Aku bisa. Aku pasti bisa. Jangan menyerah terlalu awal wahai diri. Karena aku bisa, dan harus bisa.”
Para bungsu perempuan ini tangguh, dan sayangnya tak banyak orang tahu.
“Mas Bagas juga punya keluarga yang harus dicukupi, ngapain masih ngurusin adiknya?” celetuk Sinta menyindir.
Ada helaan napas panjang yang terdengar. “Memang kamu bukan bagian dari keluarga Mas Bagas?”
“Bukan, ‘kan sudah punya istri. Kata Mas Arya nggak usah ngurusin adiknya wong sudah punya keluarga sendiri.”
Sinta membuka kembali pembicaraan di awal perkuliahannya. Pembicaraan yang tak didengarnya secara langsung, tak juga didengar melalui Bagas. Dia mendengarnya dari Sekar yang saat itu datang ke Jogja untuk mengunjunginya. Melihat kamar kosnya sudah dilengkapi lemari pakaian plastik, setrika, rice cooker, dan printilan anak kos lainnya—yang semuanya dibelikan Bagas—Sekar bergumam, “Memang nggak seharusnya didengarkan.”
Gumamannya memang kelewat lirih, tapi Sinta terlanjur mendengar dan memaksa meminta penjelasan. Akhirnya Sekar menceritakan keributan yang sempat terjadi di rumah. Lagi-lagi ulah si sulung yang entah kenapa selalu menjadi bagian yang marah-marah.
“Kuliah sampai tiga tahun, duitnya pasti nggak sedikit. Belum lagi nanti ada lanjutannya, harus kuliah lagi. Supaya dia bisa layak dapat kerjaan yang sesuai jurusannya. Memang sudah paling benar pergi ke luar negeri, jadi TKW, bisa untuk bekal hidup. Nggak perlu kuliah-kuliah segala.”
Bagas yang menjadi perwakilan keluarga untuk menghadiri undangan selamat datang atas diterimanya putra-putri di kampus terbaik itu tentu saja tidak terima. Bagas bahkan mendengar penjelasan dari rektor secara langsung bagaimana ketatnya persaingan untuk bisa lolos ke universitas itu. Belum lagi adik bungsunya lolos melalui jalus tes, yang mana bisa dikatakan lebih sulit daripada jalur nilai. Seharusnya pencapaian yang semacam itu sudah memberitahu jika Sinta memiliki tekad dan mampu membuktikan tekadnya. Dan tugas keluarga adalah mendukungnya, bukan malah terus mencerca.
Bagas bahkan sempat meminta tolong pada Ibu, jika Sinta menghubungi dan mengatakan uangnya habis, Ibu hanya perlu menjawab, “Iya, nanti Ibu transfer.” Jangan pernah sesekali mengatakan sedang tidak ada uang. Bagas tahu persis kalau adik bungsunya adalah tipe pemikir. Dan Bagas tidak rela jika perjuangan adiknya yang susah payah untuk bisa masuk ke universitas itu, justru membuatnya tidak maksimal dalam belajar karena kepikiran keuangan keluarga.
“Loh ya terserah Sinta. Dia juga punya tujuan hidupnya sendiri.”