Malam itu Sinta tidak bisa tidur. Entah karena suasana yang teramat berbeda dengan Jogja, entah karena pikirannya masih melayang jauh, berputar-putar dalam pusaran gelap yang semakin diikuti semakin tak tampak cahaya.
Ini bahkan baru pukul setengah sembilan malam. Pada jam-jam ini, Sinta biasanya masih bergelut dengan tugas-tugas kuliahnya. Suasana kos masih ramai karena hampir semua penghuni kos sedang mengerjakan tugas. Mereka baru akan tidur sekitar pukul sebelas atau dua belas.
Sebelah kos yang merupakan warung burjo juga selalu ramai sampai dini hari. Banyak mahasiswa yang fasilitas kosnya tidak dilengkapi dengan wifi, memilih burjo sebelah untuk numpang mengerjakan tugas. Hanya perlu membeli segelas es teh dengan harga yang murah—sebagai bentuk kesopanan—mereka sudah bisa mendapatkan akses untuk wifi.
Begitu kembali ke kampung halamannya, Sinta langsung disambut dengan suasana malam yang jauh berbeda. Pukul delapan saja desanya sudah sunyi senyap, orang-orang sudah masuk ke rumah masing-masing, tak ada aktivitas di jalanan kampung, suara motor lewat pun tak ada. Karena kebanyakan warga bekerja sebagai petani atau pekerjaan lain yang bermodalkan tenaga, membuat malam hari benar-benar dimanfaatkan sebagai waktu istirahat. Untuk esok pagi-pagi kembali mengolah lahan persawahan masing-masing untuk diharapkan hasilnya berbulan-bulan kemudian.
Ibu juga sudah masuk ke kamarnya, diikuti Ulya yang meminta izin ingin tidur dengan Ibu malam ini. Dia kesal karena Sekar pulang terlambat—ba’da Maghrib baru sampai rumah. Juga kembali menenteng kresek besar berisi kardus sepatu. Bukan sepatu untuk Ulya, tapi sepatu untuk dirinya sendiri. Dan ya, sedikit memancing keributan.
“Kamu itu mau sampai kapan punya gaya hidup seperti ini? Mbok ya pikirkan masa depanmu, Sekar! Ulya juga ndak selamanya jadi anak kecil. Tahun depan dia sudah cukup umur untuk masuk SD. Biaya sekolahnya perlu dipikirkan. Sepatu lagi, sepatu lagi!” marah Ibu sembari memperhatikan rak sepatu tiga tingkat yang hanya diisi sepatu milik Sekar, bermacam-macam tipe, bermacam-macam merk, yang kalau ditaksir memiliki harga yang sangat cukup untuk menghidupi Ulya.
“Ibu kenapa sih, selalu ribut kalau aku beli apa-apa? Lagian ini aku beli dengan uang sendiri, uang hasil kerjaku sendiri,” jawab Sekar tak terima.
“Ibu ndak akan protes kalau kamu ndak salah. Itu loh, Ulya anakmu ndak pernah kamu beri uang untuk beli susu, ndak pernah kamu pikirkan uang sakunya. Kamu juga ndak akan selama-lamanya tinggal di rumah Ibu, usiamu makin hari makin bertambah. Mbok ya mikir, nabung buat masa depan! Wis sing lanang gendheng, sing wadon pada bae.”
Sinta menghela napas. Beranjak dari tempat tidurnya untuk meraih pigura kecil foto keluarga yang selalu dia bawa ke mana-mana. Saat masih di Jogja, pigura itu dia pajang di atas lemari. Alasannya sederhana, supaya saat dia merasa lelah atau malas belajar, dia akan memandangi pigura itu lama-lama, dan mengingatkan dirinya jika ada yang menunggunya sukses. Ada yang menantinya menjadi orang hebat. Ada orang-orang yang selalu mendoakannya secara tulus. Mengharapkannya berhasil. Dengan begitu dalam keadaan apapun, dia tak boleh menuruti kemalasannya.
Memperhatikan foto itu lamat-lamat. Itu adalah foto yang diambil saat Sinta masih berusia empat tahun. Dia berada di tengah, digandeng oleh Bapak dan Ibu. Ada foto-foto lain yang Ibu simpan di album. Sinta hanya meminta satu untuk disimpannya sendiri.
Itu adalah foto yang diminta Arya saat Arya masih bekerja di Malaysia. Karena zaman itu keluar negeri adalah hal yang masih sangat langka, Arya bertahun-tahun tidak pulang. Pun saat libur lebaran. Mungkin dia rindu keluarga dan meminta foto-foto keluarga. Jadi Bapak memanggil fotografer untuk membantu mengambil foto sekeluarga. Sebagian dikirimkan ke Arya, sebagian disimpan sendiri oleh Ibu.
Karena foto keluarga dengan formasi lengkap dikirimkan ke Arya, dan Sinta hanya punya satu foto dirinya bersama Bapak dan Ibu, Sinta megambil foto kakaknya yang lain dengan mengambil pas foto masing-masing. Jadi di pigura itu lengkap, ada Bapak, Ibu, si sulung, si kembar, kakak perempuan, dan dirinya sendiri.
Jika melihat pigura itu, Sinta merasa seolah keluarganya teramat harmonis. Seperti satu keluarga yang kompak dan tak pernah ada masalah. Namun sayangnya, kenyataan tak pernah seindah itu. Foto yang terpampang di piguranya hanyalah gambaran sedikit sekali dari bagian keluarganya yang sungguh tak karuan.
Sinta mengambil ponselnya. Membuka satu foto di hari wisudanya. Fotonya yang memakai toga dan memegang ijazah, tertulis nama universitasnya di sana. Ibu yang memakai kebaya sama dengannya berdiri di sampingnya sembari memasang senyuman lebar yang selalu menyenangkan untuk dilihat.
Untuk beberapa saat, Sinta hanya memandangi kedua foto itu bergantian. Jika saja Bapak masih di sini, mungkin senyuman Bapak akan sama lebarnya seperti senyuman Ibu di hari wisudanya. Apalagi kalau diingat-ingat, berkuliah adalah amanat yang Bapak sampaikan pada Ibu sebelum Bapak meninggal. Bapak juga yang semenjak Sinta kecil selalu mendukung pendidikannya. Sebagai orang yang paling peduli dengan pendidikannya.
Bapak yang setiap hari membantu Sinta belajar. Menanyakan ada kegiatan apa di sekolah dan mengecek nilainya hari itu. Sewaktu Bapak tahu nilai mencongak Matematikanya teramat buruk di kelas tiga, karena Sinta belum hapal perkalian, Bapak juga yang membuatkan tabel perkalian dan memintanya untuk menghapalkan. Setelah diberi waktu sekitar semingguan untuk menghapal, Bapak akan mengetes kelancaran perkalian Sinta. Dengan begitu nilainya yang pada awalnya selalu di bawah lima puluh, menjadi selalu tinggi, kalau tidak sembilan puluh ya seratus.
Bapak juga mengajari hapalan doa-doa dan suratan pendek. Setiap kali Sinta pulang mengaji dari TPQ, Bapak akan mengulang materi yang dipelajari Sinta. Kalau kata si kembar, Sinta adalah anak yang paling beruntung di antara persaudaraan itu. Karena tidak hanya lahir membawa berkah bagi perekonomian keluarga, Sinta juga berhasil mengambil hati Bapak yang teramat menyayanginya. Sewaktu kakak-kakaknya kecil, mereka tak pernah diperhatikan karena Ibu dan Bapak sibuk mencari uang untuk makan. Tapi Sinta mendapatkan jatah kasih sayangnya secara pas, seimbang, oleh kedua orang tuanya.
Kalau pulang awal dari sawah, Bapak juga sering kali mengajak Sinta jalan-jalan menaiki sepeda ontel. Sinta selalu menyukai saat dia menaiki boncengan Bapak dengan kaki terikat ke arah depan, tujuannya agar kakinya tidak keruji—masuk rantai—karena tidak jarang Sinta ketiduran di jalan.
“Kalau sudah besar nanti Sinta ingin jadi apa?”
Itu adalah kalimat pembuka saat Bapak mengajak Sinta jalan-jalan di serongan—jalan tanah yang agak lebar di pinggiran sawah. Sinta duduk di boncengan sepeda ontel dengan sebelah tangan memainkan bunga alang-alang, sementara sebelahnya lagi berpegangan pada jok yang Bapak duduki.
“Antronaut,” jawabnya tanpa beban. Seolah-olah impian yang dia ajukan bukanlah hal besar.