“Sinta, minta tolong ya. Aku nggak bisa ambil cuti.”
Pagi itu saat Sinta sedang mencuci piring, Sekar menyerahkan selembar surat. Undangan untuk kehadiran orang tua/wali dalam acara pertunjukkan taman kanak-kanak tempat Ulya bersekolah. Gadis kecil yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya itu cemberut sembari menghabiskan sarapannya.
“Kenapa nggak datang sendiri?” tanyanya yang mengerti sumber kecemberutan Ulya pagi ini.
“Aku nggak bisa ambil cuti,” ujarnya sembari mengeluarkan motornya.
“Lagian cuma sehari, Mbak, masa nggak bisa. Ulya juga mau kali sesekali ibunya yang datang sendiri ke sekolah. Kayaknya selama Ulya sekolah, Mbak nggak pernah tuh datang ke sekolahnya.”
“Ya aku ‘kan kerja. Cari uang buat dia sekolah. Kamu tahu sendiri bapaknya nggak ada tanggung jawabnya, otomatis Ulya jadi tanggunganku sendiri.”
Sinta mengernyitkan alis, “Yakin? Bukannya selama ini Ibu ya yang bayar sekolahnya Ulya? Mbak ‘kan sibuk cari uang buat gedein gengsi,” celetuknya yang berhasil membungkan Sekar. Ada raut marah yang terlihat jelas, tapi tidak jadi diluapkan.
“Udahlah, aku udah kesiangan,” ujarnya memangkas percakapan. “Ulya, ayo buruan. Kamu mau sekalian berangkat bareng Mama atau nggak? Kenapa sih daritadi sarapannya nggak habis-habis?”
Ulya yang diteriaki pagi-pagi tentu saja menambah kadar kecemberutannya. Sinta menghela napas malas. Menghentikan sejenak kegiatan mencuci piringnya untuk mendekati Ulya yang masih duduk di kursinya. Menghabiskan sarapan pagi dengan malas-malasan.
“Udah kenyang atau masih lapar? Kalau masih lapar nanti Ante bawain bekal untuk Ulya,” tawarnya. Daripada terus marah-marah dan memaksa Ulya untuk mempercepat sarapannya, bukankah lebih baik membantunya agar cepat? Sekar sudah menyalakan motornya di halaman depan, memanasi sembari menunggu Ulya siap.
Ulya menolak. Dia menepuk perutnya yang sudah gendut.
“Oke, sekarang sekolah ya. Ulya ‘kan harus latihan nari untuk pertunjukan nanti,” ujarnya membujuk. Membantu memakaikan tas gendong milik Ulya. Anak kecil itu masih cemberut tak terima.
“Nanti waktu Ulya tampil, Ante akan duduk di kursi paling depan untuk lihat Ulya nari.”
“Kenapa nggak Mama aja yang datang?”
“Mama nggak bisa ambil cuti. Tadi Ulya dengar sendiri, ‘kan? Ulya nggak suka kalau Ante yang datang?”
Ulya menggeleng. “Suka. Tapi teman-teman yang lain sama mamanya.”
Sinta memperhatikan wajah anak kecil itu. Berpikir sebentar untuk membuatnya mau berangkat, tanpa memasang wajah muram. Kalau terlalu lama, Sekar pasti akan berteriak marah dan Ulya akan semakin cemberut.
“Kalau Ante yang datang dan Ulya anggap sebagai Mama, gimana?”
Ulya diam sejenak untuk berpikir. Setelahnya anak kecil itu tersenyum sembari mengangguk-angguk.
“Setuju?” tanya Sinta memastikan. Ulya bersorak setuju. Keduanya bertos ria karena sudah mencapai satu kesepakatan. Wajahnya yang sebelumnya murung kini terlihat bahagia. Anak kecil itu langsung pamit padanya dan berlari heboh ke halaman depan untuk segera berangkat ke sekolah. “Pamitkan pada Yangti ya, Ante,” teriaknya dari boncengan motor Sekar. Sinta mengiyakan dan membalas lambaian tangan Ulya.
“Sudah berangkat?” Ibu baru saja keluar dari kamar mandi. Menyelesaikan rutinitas pagi hari sebelum berangkat ke warung.
“Iya. Ulya minta dipamitkan tadi.”
Ibu mengangguk paham. “Surat dari sekolah?” Ibu mendapati surat undangan itu masih tergeletak di meja makan.
“Sinta yang diminta datang. Mbak Sekar nggak bisa cuti katanya.”
“Yang punya anak siapa, yang disuruh urus siapa,” ujar Ibu dengan nada jengkel. Sinta tidak menanggapi lebih. Selain karena ini masih pagi, dan dia tidak pernah suka membahas hal menyebalkan di pagi hari. Karena bisa menghancurkan mood-nya selama satu harian ini. Sinta juga enggan memperburuk keadaan. Baginya sesuatu yang sudah buruk itu tidak perlu lagi ditambah-tambahi menjadi lebih buruk. Sinta paham tabiat satu-satunya kakak perempuannya itu. Dan terus membicarakannya bukan sesuatu yang bisa dijadikan jalan keluar.
“Sekar itu sudah dewasa, sudah diberi kondisi hidup yang ndak enak begitu. Mbok ya dia mikir, malah makin-makin ndak jelas.”