Siang itu, ketika Sinta baru saja pulang setelah menghadiri acara di sekolah Ulya, ada direct message masuk melalui akun instagramnya. Yang ternyata pesan dari Indira, teman semasa kecilnya yang sekarang sedang bekerja di Bali. Indira mengabarinya jika dia akan menikah satu bulan lagi, sekaligus memberinya undangan dan memintanya untuk menemani di hari-H pernikahan.
“Kamu udah di rumah ‘kan?” tanyanya melalui telepon begitu keduanya saling bertukar nomor. Semenjak setahun Sinta berkuliah, keduanya tidak lagi saling menghubungi secara intens. Indira mendadak menghilang dan ganti nomor. Hanya saling follow di sosial media, pun sangat jarang saling menghubungi. Padahal sebelumnya, Indira rajin menanyakan kabarnya, meminta tips belajar agar bisa lolos perguruan tinggi negeri. Dan setiap kali Sinta pulang saat liburan semester di tahun pertamanya, Indira pasti datang ke rumah untuk mendengarkan cerita Sinta mengenai perkuliahan.
Namun begitu Sinta pulang di liburan semester tiga, Indira tidak lagi datang. Nomornya tidak aktif. Dan begitu Sinta menanyakan pada keluarga Indira, mereka berujar sinis dan mengatakan Indira merantau ke Bali. Setelah itu Sinta tidak pernah lagi bertanya-tanya.
Selain karena respon keluarganya yang mendadak berbeda, fokusnya juga beralih pada kehidupan perkuliahan. Banyak hal yang harus dikerjakan, dan lambat-laun hubungan pertemanan itu kian menjauh.
Ini pertama kali setelah sekian lama. Dan kehadiran Indira yang membawa kabar baik tentu saja disambut antusias oleh Sinta.
“Iya. Kamu kapan pulangnya? Kalau perlu bantuan untuk prepare pernikahan bilang aja, Ra.”
Indira tidak langsung menjawab. Helaan napasnya yang berat bisa didengar jelas oleh Sinta. “Pengen pulang cepet. Banyak yang mau aku ceritakan. Tapi kayaknya aku baru pulang beberapa hari sebelum hari-H.”
“Kamu bisa cerita lewat telepon kalau mau,” ujarnya megajukan tawaran. Ditilik dari suara Indira sepertinya memang banyak hal yang sedang mengganggu dan butuh tempat untuk diluapkan. Banyak orang bilang, saat menjelang pernikahan memang banyak hal yang dipikirkan dan itu cukup menyebalkan.
“Nggak enak kalau ngomong lewat telepon. Mau cerita banyak sambil ketemu kamu langsung, kayak dulu.”
“Ternyata benar ya kata orang-orang kalau mau menikah pasti banyak pikiran. Tapi itu normal kok, Ra, banyak pikiran dan khawatirin banyak hal. Gimanapun pernikahan adalah momen penting bagi setiap manusia. Nggak apa-apa banyak pikiran, nggak apa-apa khawatir, tapi jangan sampai kamu stres. Dari suaramu kayaknya kamu capek banget.”
Indira tertawa pelan. “Aku lihat story kamu waktu lulusan. Kamu cocok banget pakai toga. Apalagi foto yang kamu sama teman-temanmu, kamu kelihatan bahagia banget. Selamat ya, Ta. Kamu berhasil sampai di titik ini. Seharusnya aku kayak kamu, belajar banyak hal, punya mimpi jauh ke depan, nggak malah….” Indira tidak melanjutkan kalimatnya, hanya kembali terdengar helaan napasnya yang berat.
“Aku iri, tahu!” lanjutnya dengan nada bercanda.
“Setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing kok, Ra. Nggak harus lewat pendidikan. Karena belajar bisa di mana aja ‘kan? Kamu juga beruntung dengan jalan hidup kamu sendiri. Eh sekarang malah udah ketemu jodohnya.” Sinta berujar menggoda.
“Tapi nggak seberuntung kamu. Lagian nikah di usia segini nggak pernah ada di pikiranku selama ini.”
“Nggak pernah ada orang yang bisa mengira-ira gimana masa depannya. Karena kita memang nggak pernah diberi kuasa untuk tahu hasil akhirnya. Bagian kita cuma ada di pilihan-pilihan kita. Dan ya, apapun pilihannya kita yang harus bertanggung jawab untuk pilihan yang udah kita pilih sebelumnya.”
“Ya… kamu benar. Memang harus tanggung jawab. Nggak adil juga kalau orang lain yang harus bertanggung jawab atas pilihan kita sendiri. Dan bodohnya, aku baru sadar setelah kejadian.”
Sinta mengerutkan keningnya tidak mengerti. Kenapa dia merasa kalau apa yang baru saja dikatakan tidak sejalan dengan respon Indira? Keduanya seolah sedang membahas hal yang sama, namun nada bicara Indira terdengar sedang membicarakan hal lain.
“Ra, kamu beneran nggak apa-apa, ‘kan?”
Indira tertawa. “Nggak kok. Makasih ya, Ta. Janji temani aku di hari pernikahan loh. Pokoknya aku nggak mau tahu, kamu harus nemenin.”
Pembicaraan itu ditutup setelah sepatah, dua patah kalimat lagi. Suara Indira yang tidak lagi terdengar setelah sambungan terputus menimbulkan kehampaan yang terasa kosong. Sinta tidak bermaksud memikirkan banyak hal, di luar kuasanya. Hanya saja, suara Indira, nada bicaranya, kalimat-kalimat yang menjadi bahasan, terasa janggal. Dia benar baik-baik saja, ‘kan?
***
“Bulan ini Ulya ada penilaian bulanan. Hapalan surat-surat pendek, doa harian, adab-adab Islam. Untuk lebih jelasnya udah aku kirim ke wa kamu. Nanti bantu ajarin dia ya, Ta.”
Ini adalah tahun kedua Ulya bersekolah di taman kanak-kanak yang ada di desanya. Sekolah biasa yang lebih menekankan pada pembelajaran agama. Ulya masuk TK di usia empat tahun, tidak pernah direncanakan awalnya. Ulya juga tidak mendaftar di awal penerimaan peserta didik baru. Itu kejadian yang cukup konyol kalau diceritakan.
Hari itu, Jum’at pagi, entah bagaimana tepat setelah terbangun di pagi hari, Ulya berteriak heboh memanggil seisi rumah. “Yangti, Mama, Ante, ayo sekolah ini hari Jum’at, ‘kan?”
Tentu saja ketiganya hanya memandangi Ulya sambil kebingungan. Sekar dan Ibu tertawa, menganggap Ulya mungkin baru saja bermimpi. Tidak menanggapinya lebih jauh.
“Ulya mau sekolah?” tanya Sinta yang cukup tertarik untuk menanggapi celetukan anak kecil itu.
Ulya mengangguk antusias.
“Bu, gimana?” tanya Sinta pada Ibu yang belum menanggapinya dengan serius.
“Tahun ajaran baru sudah dimulai, Nduk. Ulya belum daftar.”