“Selamat sore, pemirsa. Kami mendapatkan informasi penting mengenai wabah penyakit yang baru-baru ini terdeteksi. Laporan awal menyebutkan bahwa kasus pneumonia misterius telah ditemukan di kota Wuhan, di provinsi Hubei, China. Hingga saat ini, puluhan orang telah dirawat di rumah sakit akibat penyakit yang belum diketahui penyebab pastinya.”
“Para ahli kesehatan setempat telah melakukan penyelidikan dan menduga bahwa virus ini berasal dari pasar hewan di kota tersebut, di mana berbagai satwa liar diperjualbelikan. Kementerian Kesehatan China telah mengumumkan bahwa virus ini merupakan jenis baru dari coronavirus, yang berpotensi menular pada manusia.”
“Meski belum ada peringatan internasional, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO tengah memantau situasi ini dengan seksama. Penularan virus ini akan terus diteliti lebih lanjut untuk mencegah penyebarannya ke luar wilayah. Kami akan terus mengupdate perkembangan terbaru dari wabah yang berpotensi menjadi ancaman kesehatan global ini. Tetap waspada dan ikuti perkembangan selanjutnya.”
Berita buruk yang terlalu buruk untuk menyambut tahun baru 2020. Ini bahkan masih berada di tanggal-tanggal awal Januari, tapi dunia digemparkan oleh berita baru dengan penemuan penyakit misterius yang awal mulanya terjadi di Wuhan, China.
“Ana-ana bae, wong kewan liar ndadak dipangani,” komentar Ibu sembari memperhatikan layar televisi yang menunjukkan kondisi pasar Huanan Seafood Wholesale Market sebelum ditutup pada 1 Januari.
“Mbok mangan sing enak bae ya akeh? Ayam, sapi, apa wedhus mbok ya enak, malah pada mangani kampret.”
Sinta terkekeh mendengar respon Ibu. “Ya wajar, Bu. Di sana ‘kan nggak ada pemisahan hewan halal sama haram.”
“Lah itu coba lihat akibatnya, malah jadi pada kena penyakit.”
“Baru dugaan sementara karena orang-orang yang terinfeksi pertama kebanyakan punya akses ke pasar Huanan. Tapi belum tentu juga karena hewan, ‘kan? Kalau mereka punya kebiasaan konsumsi hewan liar sejak lama, kenapa virusnya baru muncul sekarang?” ujar Sinta.
“Halah Ibu ya ora mudeng nek wis ngomong-ngomong kaya gue. Yang penting, kalau memang penyakitnya diakibatkan oleh kelelawar, berarti kita aman, Nduk. Virusnya ndak akan nyebar ke sini. Orang Indonesia ‘kan makannya hewan-hewan halal.”
“Iya, Bu. Semoga aja. Lagian kayaknya penanganannya cepet. Itu pasar Huanan langsung ditutup.”
Selama berbulan-bulan setelah kelulusan, Sinta sudah mengajukan banyak lamaran ke beberapa perusahaan. Tapi sampai awal 2020 belum juga ada panggilan wawancara. Sembari menunggu panggilan, Sinta juga menggunakan kemampuan menulisnya untuk membuat artikel dan mengirimkannya ke beberapa media. Satu, dua diterima dan dia mendapat honor barang seratus, dua ratus ribu dari tulisannya. Hanya cukup untuk jatah pulsa dan paket data setiap bulannya. Karena di usia-usia ini, meminta uang pada Ibu tidak lagi semudah saat dia masih bersekolah. Dan dari banyaknya tulisan yang dia ajukan, lebih banyak yang ditolak.
Sinta juga mengisi waktunya untuk belajar menulis sastra di platform kepenulisan online. Di sana dia mendapatkan cukup banyak pengikut, ratusan di awal prosesnya belajar. Cukup memberikan motivasi dan semangat di tengah kondisi masa depannya yang tidak bisa diprediksi.
Belum lagi, keberadaannya di rumah selama berbulan-bulan ini cukup menarik perhatian dari mulut tetangga. Mulai terdengar suara-suara sumbang yang cukup menyakiti.
“Padahal lulusan universitas bagus ya, tapi setelah lulus malah di rumah ndak langsung kerja.”
“Lagian anak perempuan memang baiknya ndak usah sekolah tinggi-tinggi. Sampai universitas ‘kan biayanya mahal. Ibunya kerja banting tulang buat biaya sekolah, eh giliran lulus malah ndak kerja-kerja.”
“Mbak Sinta gie kadohen mikire. Jarene pendidikan nggo masa depan, lah wong urip nang desa ya gari melu cara uripe wong desa. Bocah kene ya ora pada kuliah, ‘kan? Eh dheweke malah mbeda-mbedani. Wis kaya gue kuliahe ora kanggo wong nang umah bae.”
Itu sebagian yang terdengar. Sebagiannya lagi, Sinta tidak tahu. Dan mungkin lebih parah dari yang dia dengar.
Pun karena itu komentar dari orang lain, Sinta tidak begitu mengkhawatirkan, tidak terlalu dipikirkan. Karena baginya, tidak pernah ada yang bisa mengontrol mulut orang untuk berkomentar. Bagian kita hanya mengontrol emosi agar tidak terlanjur marah atau tersinggung mendengar suara-suara itu.
Hanya saja yang paling menyakitkan adalah komentar pedas dari Arya, kakak sulungnya sendiri. Beserta istrinya yang selalu berperan sebagai kompor rusak setiap kali Arya berkomentar pedas atas keberadaannya di rumah.