Pagi itu Sinta menghadiri pernikahan Indira. Dia datang pagi-pagi sekali karena sudah berjanji akan menemani Indira di hari-H pernikahan. Dan juga, Indira adalah teman baiknya sejak kecil. Keduanya dulu teramat dekat walaupun memiliki selisih usia setahun. Selain karena janjinya, Sinta juga ingin tahu seperti apa calon suami Indira. Hanya untuk memastikan jika teman kecilnya menemukan laki-laki yang tepat.
Itu adalah pernikahan sederhana yang dilakukan di halaman rumah Indira yang tidak begitu luas. Halaman berbatu geragal itu kini sudah disulap menjadi lokasi pernikahan. Ada tratag berukuran sedang yang dihamparkan di seluruh halaman rumah. Pelaminan di bagian depan juga berukuran sedang, tidak memakan banyak tempat.
Begitu masuk ke area pernikahan, Sinta langsung diantar ke kamar Indira. Di mana teman kecilnya itu sudah selesai dirias. Mengenakan gaun pernikahan sederhana berwarna putih, lengkap dengan jilbab yang menutupi kepalanya. Indira sedang terdiam menunduk dengan wajah khawatir sembari memegang bunga pernikahan.
“Dira,” panggil Sinta begitu masuk ruang kamar. Indira langsung tersadar dan bangkit dari duduknya. Keduanya berpelukan erat. Sinta tidak pernah tahu sebelumnya, kalau bertemu dengan teman kecilnya setelah sekian lama akan terasa mengharukan. Apalagi keduanya dipertemukan saat Indira sudah akan melangkah ke kehidupan selanjutnya. Menjadi seorang istri bagi laki-laki yang akan memegang penuh tanggung jawabnya atas diri Indira.
Ketika pelukan itu terlepas, Indira bahkan masih sesekali meneteskan air matanya. Ibu Indira yang awalnya menemani di ambang pintu juga tak kuasa meneteskan air mata. “Mamak tinggal ya. Ke KUA-nya masih jam delapan. Kalian ngobrol saja dulu,” ucapnya sembari menghapus sisa air mata di pipinya. Ibu Indira juga berbaik hati menutup pintu kamar Indira, untuk memberi waktu bagi dua teman kecil itu.
“Jangan nangis lagi, nanti make up-mu luntur,” ujar Sinta yang juga masih berusaha menguasai emosinya. Ini hari bahagia Indira, bukankah seharusnya dia turut bahagia? Bukannya malah menangis seperti ini.
Indira terkekeh sembari menghapus air matanya. “Aku mau ke rumahmu semalam. Pengen banget ketemu kamu, Ta, tapi kata Mamak nggak usah.”
Sinta mengangguk. “Nggak apa-apa. Kamu udah kabarin jauh-jauh hari, aku jelas datang lah. Lagian kata bapakmu tadi, kamu baru sampai kemarin sore. Buat istirahat, nggak perlu keluyuran malam-malam.”
Indira kembali tertawa. “Keluyuran apa, rumahmu aja itu ada di depan.”
Keduanya tertawa. Rumah Sinta memang dekat dengan rumah Indira. Hanya dibatasi jalan desa. Rumah Sinta ada di sebelah kanan jalan, agak naik, sedangkan rumah Indira ada di sebelah kiri jalan, menghadap barat, tepat di mana rumah Sinta berada. Karena kedekatan lokasi rumah itulah yang membuat keduanya akrab sejak kecil.
“Saras datang nggak?”
“Udah aku kabarin. Dia bilang nggak janji. Lagi hamil besar, Ta, katanya kalau pagi suka nggak enak badan.”
Sinta mengangguk-angguk paham. “Ya ampun, teman kecilku udah pada nikah semua. Sisa aku sendiri,” ujar Sinta cemberut. Dia bahagia dengan pernikahan teman-temannya. Hanya saja, begitu mereka menikah, mereka akan disibukkan dengan peran baru, dan waktu untuk bertemu akan menjadi lebih sulit.
Saraswati, si paling muda di antara mereka, bahkan sudah menikah sejak lulus dari sekolah menengah atas. Saras sudah bertunangan sewaktu sekolahnya belum lulus. Saat pernikahan Saras, Sinta tidak menghadirinya karena dia belum libur kuliah.
“Nggak apa-apa. Justru kamu beruntung, Ta,” ujar Indira. Dia memang tersenyum tapi entah mengapa senyumannya terlihat lain. Tidak seperti Indira yang dikenalnya dulu. Indira yang cerewet menanyakan ini, itu mengenai perkuliahan. Indira yang heboh harus belajar apa saja agar bisa masuk perguruan tinggi negeri tempat Sinta berkuliah.
“Beruntung apanya? Kalian udah pada punya gandengan, lah aku luntang-luntung sendiri.”
Indira menggeleng sembari tersenyum. “Kalau boleh pilih ulang pun, aku mau luntang-luntung sendiri kayak kamu. Masih muda lagi, ngapain khawatir? Apalagi kamu pintar, cantik, lulusan universitas favorit. Dan yang jelas kamu punya kebebasan dan berani menyampaikan kebebasan itu.”
Sinta memperhatikan wajah Indira lamat-lamat. Raut wajahnya tampak jelas mengindikasikan satu rasa yang sepertinya sedang berusaha disembunyikan rapat-rapat. Namun berkali-kali Indira terlihat ingin memperlihatkannya pada Sinta. Setelah kalimatnya yang terakhir, Indira kembali meneteskan air matanya. Membuat Sinta seolah bisa membaca apa yang sedang terjadi pada Indira, tapi sayangnya dia tak bisa menanyakan dengan terang-terangan sekarang.
Perhatian keduanya beralih begitu pintu kamar kembali terbuka. Saraswati datang. Perempuan yang perutnya sudah membesar itu berteriak heboh saat melihat dua teman kecilnya sudah berkumpul. Ketiganya berpelukan erat. Saking eratnya sampai Indira harus meminta dilepaskan karena jilbabnya agak miring akibat pelukan itu. Ketiganya tertawa setelah itu.
“Katanya mau lanjut kuliah kayak Sinta, ngapain malah ikutan nikah muda?” protesnya pada Indira setelah saling menanyakan kabar. Indira hanya tertawa tanpa berniat memberikan jawaban.
“Dih, ya suka-suka Dira dong. Ngapain kamu ngatur-ngatur, bocil.” Malah Sinta yang menjawab.
Saraswati mengembuskan napasnya. “Emang seru banget jadi kamu ya, Ta. Coba aja aku seberani kamu dan lantang bilang, ya suka-suka aku dong, ngapain kamu ngatur-ngatur? Pasti nggak akan seberat ini sekarang.”
Sinta jelas kebingungan. Dia hanya bercanda dengan kalimatnya. Tapi kenapa suasana jadi terasa serius begini?
“Kenapa mukanya pada sedih begini? Udah ah ayo keluar, siap-siap ke KUA,” ujar Sinta. Indira mengangguk dan berjalan terlebih dahulu keluar dari kamarnya. Tapi baru saja Sinta akan mengikuti, Saras menahan tangannya.
“Kenapa?”
“Ta, jangan pernah mau kalah sama keadaan ya. Tetap jadi Sinta yang punya mimpi-mimpi besar dan mau susah payah memperjuangkan semuanya. Aku mau lihat kamu berhasil,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Sinta kebingungan dengan kalimat itu. Apa maksudnya?
Jika kedua teman kecilnya mendukungnya, itu sudah jelas. Mereka bertiga adalah teman baik sejak kecil yang tumbuh bersama. Hampir setiap hari mereka menghabiskan waktu bersama. Hanya kalau Sinta ada latihan perlombaan atau les tambahan yang membuat mereka tidak bertemu. Pun begitu tumbuh remaja, ketiganya masih menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama. Tentu saja tidak lagi bermain petak umpet, bentik, atau permainan anak-anak lainnya. Mereka akan berkumpul di rumah Sinta—yang paling sering dijadikan tempat berkumpul—sambil menceritakan banyak hal. Tentang mimpi-mimpi mereka, tentang bayangan masa depan, tentang cinta pertama di usia remaja, dan bahasan lain yang selalu menyenangkan.