Hal paling menyebalkan dari PSBB ini adalah keberadaan orang-orang yang selalu berada di rumah. Kegiatan-kegiatan seperti sekolah dan bekerja yang biasanya dilakukan di luar rumah, kini harus dilakukan di rumah. Manusia yang merupakan makhluk sosial dan menjadikan kegiatan bersosialisasi sebagai rutinitas harian, lama-kelamaan mulai terbebani lantaran dibatasi untuk melakukan kodratnya.
Pada waktu-waktu awal, mungkin belum timbul kebosanan bagi masing-masing. Tapi begitu hari-hari terus berjalan dengan keberadaan yang terus berada di rumah, manusia-manusia mulai merasa bosan dan akhirnya mencari cara lain untuk mengurangi kebosanannya. Dan yang dilakukan oleh dua anak Arya beserta istrinya adalah mengganggu Ulya.
Jika sebelumnya kegiatan mengganggu Ulya hanya terjadi beberapa saat sekali, kini intensitasnya menjadi lebih tinggi dan kian parah. Cukup menarik emosi Sinta untuk keluar lebih cepat.
Seperti siang ini saat suara tangisan Ulya di halaman menggema. Menginterupsi Sinta yang sedang membantu Ibu membungkusi keripik talas.
Ibu menghela napas. “Pasti diledeki lagi.” Ibu segera beranjak dari duduknya dan menemui Ulya yang sudah sendirian di depan pintu rumah Arya sambil menangis, dengan kondisi pintu tertutup rapat. Sinta menyusul setelahnya.
“Tadi Ulya main sama Dana, ‘kan? Mana sekarang anaknya?” tanya Ibu. Sebelum ditinggalkan tadi, Ulya memang sedang bermain dengan salah satu temannya, anak tetangga dekat bernama Dana. Anak itu sekelas dengan Ulya dan sering main bersama.
Ulya dengan tangisan yang masih belum berhenti menunjuk ke rumah Arya. “Di dalam sama Bude, tapi Ulya disuruh keluar.”
Ibu tanpa pikir panjang langsung menerobos masuk ke rumah Arya. Mencari-cari keberadaan Dana. “Mana Dana?” tanya Ibu. Nada suaranya tak meninggi, tapi tegas.
Istri Arya berujar polos, seolah tidak tahu apa yang sedang terjadi. “Nggak ada kok, Bu. Sudah pulang mungkin. Tadi lagi main sama Ulya di depan.”
Ibu tidak langsung percaya begitu saja. Mengingat hal seperti ini sudah terjadi berkali-kali. Mencari-cari keberadaan Dana yang ternyata sudah disembunyikan di belakang boneka beruang berukuran besar. Melihat hal itu tentu saja Ibu marah. Tapi tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya segera menarik keluar Dana. Bertepatan dengan Arya yang pulang dari bengkel untuk makan siang.
“Ada apa?” tanyanya kebingungan. Dia baru saja pulang sudah disandingkan wajah murka Ibu, Sinta yang sedang menenangkan Ulya, dan Dana yang tampak bersalah tapi tidak mengatakan apa-apa.
“Didik istrimu! Ajari dia bersikap yang baik dan benar, ndak seenaknya!” ujar Ibu dengan amarah yang belum reda. Ibu langsung kembali ke rumah dan membawa Ulya turut serta.
“Ulya lagi main sama Dana, jadi aku tinggal tadi. Tiba-tiba Ulya nangis dan dia udah di depan sini sendirian,” jelas Sinta menjawab raut tidak mengerti Arya.
“Mas tahu kenapa dia sendirian di sini? Karena Ulya disuruh keluar sama istri Mas, dan malah Dana yang dibawa masuk. Ulya nggak boleh ikut main atau gimana aku nggak tahu alasannya, nanti Mas bisa tanya sendiri. Tadi Ibu juga nemuin Dana di belakang boneka beruang di kamar depan, sengaja disembunyiin istri Mas, oh atau kamu yang ngumpet?” tanya Sinta pada Dana.
Anak kecil itu menggeleng. “Tadi Bude suruh aku sembunyi waktu Yangti masuk. Nanti kalau Ulya udah pulang katanya aku mau dikasih jajan tapi disuruh nemenin Alfi main. Tapi Ulya nggak boleh ikutan main,” jelasnya takut-takut.
Sinta mengangguk-angguk. “Tuh, Mas dengar sendiri penjelasannya. Istri Mas ngapain coba nyembunyiin anak orang dan keponakannya malah disuruh keluar?” ujar Sinta. Arya tampak kesal.
“Kamu pulang dan jangan main ke sini lagi kalau masih mau ngeledekin Ulya,” perintahnya pada Dana yang langsung berlari pulang.
Tanpa basa-basi lagi, Arya langsung masuk ke rumahnya. Sinta yang berjalan kembali ke rumah samar-samar masih bisa mendengar omelan Arya pada istrinya.
“Bisa ‘kan sehari saja nggak usah bikin Ulya nangis? Dia keponakanku, anak dari adikku yang sejak kecil bahkan nggak pernah tahu siapa ayahnya. Setiap hari dia ditinggal kerja ibunya, dan hanya dirawat Ibu yang juga sibuk. Untung saja sekarang Sinta di rumah, jadi Ulya ada teman. Kalau nggak bisa sedikit saja meringankan beban, nggak usah diledekin apalagi dibikin nangis!”