Setelah berbulan-bulan berusaha mencari pekerjaan, Sinta akhirnya mendapat kesempatan. Bukan dari lamaran-lamaran yang dia ajukan. Justru dari palform online tempatnya menulis. Ada seorang editor yang tertarik dengan karyanya dan menawarinya untuk menulis di tempatnya bekerja.
Sinta yang masih kebingungan memilih mengambil kesempatan itu. Kesempatan tidak selalu datang dua kali. Lagi pula tidak ada salahnya untuk mencoba hal baru. Walaupun kepenulisan sangat jauh dari jurusannya saat berkuliah, tidak pernah ada yang tahu bagaimana perjalanan hidup masing-masing orang.
Editor tersebut memberikan nomor teleponnya agar keduanya bisa berkomunikasi dengan lebih mudah. Begitu berdiskusi mengenai ini dan itu, Sinta juga menanyakan banyak hal mengenai platform yang baru didengarnya itu, Sinta diberi formulir untuk pengisian sinopsis sekaligus diberitahu bagaimana caranya mengajukan ceritanya. Karena Sinta ditawari lewat jalur reguler, dia hanya perlu mengajukan ceritanya, bukan mengajukan lamaran atas dirinya. Karena nanti jika lolos seleksi, ceritanya yang akan dikontrak. Hal itu juga cukup menguntungkan karena Sinta tetap diperbolehkan mencari pekerjaan lain, di luar keikutsertaannya dalam platform tersebut. Tergolong fleksibel menurutnya.
Sinta mengajukan sinopsis pertamanya. Dia membutuhkan waktu dua hari penuh untuk menyelesaikan formulir pengisian sinopsis berdasarkan arahan dari editornya. Sinta tak pernah tahu jika menulis di platform online akan memberinya uang. Karena selama ini dia hanya tahu, penulis adalah mereka yang membuat karya dan menawarkannya kepada penerbit. Jika penerbit menyetujui, maka karya tersebut akan naik cetak dan diperjualbelikan dengana bagi hasil berdasarkan kontrak yang ditandatangani kedua belah pihak. Penulis akan mendapatkan royalty sebagai penghasilannya.
Namun walaupun kebingungan, dia tidak meragukan apa-apa. Kalaupun platform ini adalah penipuan, dia tak akan rugi apa-apa. Tidak menunggu waktu lama, hanya sekitar dua minggu setelah pengajuan, sinopsisnya lolos kurasi dan dia diberi akses oleh editor untuk menjadi penulis di platform tersebut. Editor tersebut memberikan kode editor sebagai tanda jika Sinta adalah salah satu penulis yang bergabung lewat editornya.
Semenjak itu, dia sibuk mengisi waktunya untuk menulis. Setiap harinya dia menulis satu bab untuk di-upload di platform tersebut. Hari-hari itu cukup mendukung karena tidak ada distraksi yang mengganggunya. Entah karena suara-suara sumbang itu sudah menghilang perlahan, entah karena Sinta sudah memfokuskan dirinya pada kegiatan baru yang cukup menyenangkan.
Ulya juga sudah kembali bersekolah. Anak kecil itu sudah diperbolehkan meneruskan ke SD karena usianya sudah cukup. Ulya mendaftar di MI dan beberapa hari ini sedang mengikuti MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah).
Sebulan bergabung dengan platform kepenulisan tersebut, di awal bulan Sinta benar-benar tercengang karena ada uang masuk ke akunnya sebagai gaji pertamanya. Tidak begitu banyak, tapi karena menggunakan dolar itu cukup lumayan. Apalagi dia baru saja bergabung dan sedang kebingungan apakah platform tersebut benar memberinya uang atau tidak.
Baru setelah mendapat gaji pertamanya, Sinta memberitahu Ibu soal pekerjaan barunya. Juga Bagas yang sudah kembali ke Jogja begitu PSBB dilonggarkan. Keduanya menyambut baik kabar tersebut.
“Ndak apa-apa berbeda dengan jurusan, Nduk, untuk mencari pengalaman dulu. Lagi pula, pandemi belum mereda, takut nanti kalau kamu cari kerjaan di luar kota malah pandemi parah lagi.” Begitu yang Ibu katakan.
Bagas juga mengatakan hal yang kurang lebih sama. Menyemangatinya dan mengatakan jika kesuksesan bisa datang dari jalan mana saja. Kalau saat ini Sinta diberi kesempatan lewat kepenulisan, ya ambil dan gunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Tapi tentu saja tidak semua manusia merespon seperti yang Ibu dan Bagas lakukan. Ada juga yang memberikan penilaian buruk atas apa yang Sinta lakukan.
“Tuh setiap hari di depan laptop kerjaannya, ikutan pakai wifi sini juga, Mas.”
Arya melirik Sinta yang sejak jam setengah delapan sudah duduk lesehan di teras rumah. Karena rumahnya berhadapan dengan rumah Ibu, bukan hal yang sulit mendapati Sinta yang sepertinya sudah sibuk mengerjakan sesuatu.
“Kerjaan rumah Ibu semua yang kerjain, dia nggak pernah ngapa-ngapain. Dari pagi sampai sore cuma duduk di depan laptop.”
Arya tanpa pikir panjang langsung menemui Sinta dan menginterupsi kerjaannya. “Ta, ngapain? Masih pagi udah goleran di sini. Cari kerja sana, kamu udah berbulan-bulan nganggur,” ujarnya.
Sinta yang sedang serius hanya memperhatikan sekilas sembari membenarkan letak kacamatanya. “Ini lagi kerja,” jawabnya santai.
“Kerja apa dari rumah? Yang namanya kerja ya berangkat pagi jam 7 pulang jam 4 sore. Lah kamu cuma main-main laptop nggak jelas. Mbakmu juga bilang, kamu nggak bantuin kerjaan rumah?”
Kalimat itu menarik perhatiannya. Sinta menghentikan sejenak kegiatannya. Melirik istri Arya yang sedang menjemur pakaian. “Emang tiap kali aku cuci piring, nyapu rumah, ngepel, atau ngeberesin barang-barang Mas yang kayak rongsokan di kamar depan itu, aku harus lapor?” tanyanya santai. Berusaha santai di tengah rasa kesal yang hadir.
“Mas ketinggalan zaman banget ya. Mas nggak tahu kalau ada yang namanya WFH sekarang? Nonton tv makanya!” sarkasnya yang membuat Arya kalah telak.
“Lagian ini udah jam setengah delapan, Mas ngapain masih nganggur di rumah? Yang namanya kerja itu berangkat jam 7 pagi, pulang jam 4 sore,” ujarnya membalik kalimat yang diajukan Arya tadi. Membuat Arya mendengus dan beranjak dari duduknya. Dia tadi baru akan berangkat ke bengkel, tapi kalimat dari istrinya dan keberadaan Sinta membuatnya beralih fokus. Hanya untuk mendapat kalimat menyebalkan lainnya dari adik bungsunya.
“Ngomong-ngomong, Mbak, aku udah izin Mas Arya kok untuk ikut pakai wifi. Mas Arya yang kasih password-nya, dan kata Mas Arya kalau password-nya diganti lagi, aku disuruh lapor langsung ke yang suka bayarin biaya wifi,” ujar Sinta dengan suara keras. Kalimat itu berhasil membuat istri Arya cepat-cepat masuk ke rumah. Membuat Sinta keheranan dibuatnya.
Kakak iparnya itu memang suka sekali ikut menyerobot kalimat orang, atau menambah-nambahi kemarahan Arya, tapi hanya berlaku kalau ada Arya. Kalau sendirian, tak pernah ada suaranya.
Perihal wifi itu juga jadi masalah. Selama berbulan-bulan tidak bekerja, Sinta memang ikut menggunakan wifi rumah Arya. Tentu saja atas izin dari Arya. Alasannya karena Sinta tidak enak hati harus minta uang kuota pada Ibu.
Pada awalnya semua lancar-lancar saja, tapi lama-kelamaan dia tidak bisa menyambungkan karena password-nya sudah diganti. Saat Sinta minta password baru ke Arya, kakak laki-lakinya itu bilang sendiri kalau sesekali Sinta tidak bisa menyambungkan, minta password-nya saja langsung pada Arya.
Perihal gonta-ganti password itu juga membuat Sekar geram. “Ta, nggak usah ikutan pakai wifi tetangga kenapa? Nih buat beli kuota. Nggak sadar banget sih kamu, wong nggak dibolehin ikut pakai sama istrinya kok masih aja ikutan,” ujarnya sembari memberikan uang kuota untuk Sinta.