“Bu, Mbak Sekar nggak pulang. Katanya pulang ke kos,” ucap Sinta menyampaikan pesan yang dikirimkan oleh Sekar beberapa saat lalu. “Emang sekarang Mbak Sekar ngekos, Bu?”
Ibu menghela napas panjang. “Ibu sudah larang, ngapain ngekos-ngekos segala? Wong sebelumnya dia juga bolak-balik setiap hari. Ndak tahu anak itu, ada-ada saja. Ganu jamane SMA kon ngekos ben ora kesel bolak-balik malah ora betah, saiki wis due anak kok ya malah ngekos. Alasannya kalau pulang malam jadi langsung ke kos, ndak kejauhan pulang ke rumah. Padahal Sekar cuma sales, Nduk. Emang ada sales jualan malam-malam?”
“Mbak Sekar juga jualannya ke pasar atau toko-toko gitu ‘kan ya, Bu? Kalau malam ya tutup.”
“Ibu ini suka khawatir loh, Nduk. Cah wadon, kerjanane motoran nganah-ngeneh, lah saiki ndadak ngekos mbarang.”
“Ibu nggak khawatir waktu Sinta yang ngekos? Di Jogja lagi, jauh dari keluarga.” Entah bagaimana Sinta cukup tertarik untuk mengajukan pertanyaan itu.
Ibu menatap anak bungsunya yang sengaja mengajukan pertanyaan seperti itu. “Sinta ini bisa dipercaya, ndak akan mengkhianati kepercayaan yang Ibu kasih. Anak baik, yang ndak neko-neko, selalu izin kalau harus pulang malam, pun dengan alasan yang jelas. Ndak pernah pergi-pergi untuk sesuatu yang ndak penting. Sinta ini hidupnya ‘kan selalu tentang belajar dan belajar, ndak tertarik untuk hal-hal yang ndak ada guannya. Lah Sekar….” Ibu kembali menghela napas. Wajahnya yang sudah menua, timbul banyak keriput, tidak melunturkan aura seorang ibu yang begitu mencintai anak-anaknya. Walau terkadang anak-anaknya tidak tahu diri dan seenaknya membuat masalah. Membuat wajah itu kian dilanda kesedihan lantaran perlakuan tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh anak-anaknya.
Sinta berulang kali merapalkan syukurnya karena diberi seorang ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya. Ibu mau berjuang untuk meluruskan anak-anak yang salah jalan. Ibu mau repot untuk mendidik anak-anaknya.
Sinta yang melihat jelas bagaimana Ibu berjuang, terus menasihati dirinya sendiri untuk tidak pernah menyerah saat masalah menghadang jalannya. Dia tidak dibesarkan oleh Ibu yang biasa-biasa saja. Dia dibesarkan oleh seorang Ibu hebat, yang terus mau meneruskan perjalanan, tidak peduli bagaimana dunia menghantamnya berkali-kali. Berbekal itu, Sinta berjanji tak akan menyerah dengan mudah. Dia memiliki figur yang jelas, dan dunia tak akan mudah membuatnya menyerah.
“Mbak Sekar udah besar kok Ibu, udah dewasa. Udah punya anak segede itu tuh,” ujar Sinta sembari menunjuk Ulya yang sedang bermain ponsel. Karena hapalannya kali ini lancar, anak kecil itu minta bermain ponsel sebentar dan Sinta mengizinkan. Sebagai bentuk hadiah atas kerja keras Ulya.
“Kalau dia mau belajar dari pengalaman, dia nggak akan berbuat hal buruk yang bisa merugikan dirinya sendiri. Ibu nggak perlu khawatir berlebihan. Yang terpenting Ibu udah membesarkan semampu Ibu, semaksimal yang Ibu bisa. Sekarang tanggung jawab ada di tangan masing-masing. Kalau Mbak Sekar bisa berpikir dengan baik dan benar, nggak akan ada apa-apa.”
Ibu tersenyum. “Iya, semoga ya, Nduk.” Ibu kembali menghela napas. Menatap putri bungsunya dengan tatapan dalam yang membuat Sinta kebingungan. “Terima kasih sudah memilih tetap ikut Ibu ya, Nduk.”
Sinta mengernyitkan alisnya bingung. “Maksud Ibu?”