Hari ini Sinta akan bersih-bersih rumah. Dia tidak menulis karena dua hari kemarin sudah membuat beberapa bab untuk kelanjutan ceritanya. Jadi dia tetap bisa update setiap hari, tapi bisa mengambil libur untuk mengerjakan hal lain.
Sinta tidak tahan dengan burung-burung di ruang tamu Ibu juga dengan tumpukkan barang-barang yang sudah tidak tertata rapi, berantakan lagi untuk kesekian kali. Dia akan memisahkan barang-barang yang sekiranya masih terpakai dan yang sudah tidak lagi layak. Yang sekiranya masih terpakai, akan dia susun rapi dan dia keluarkan dari rumah Ibu. Untuk dikembalikan pada pemilik aslinya, untuk disimpan sendiri di rumahnya. Untuk barang-barang yang tidak lagi terpakai, akan dia kumpulkan di belakang rumah Arya untuk sewaktu-waktu kalau ada pengepul sampah, akan dia jual, pun dengan persetujuan Arya. Dia tidak akan menjual barang milik orang lain tanpa seizin pemilik barang tersebut. Dan rencananya pagi ini juga sudah atas izin Arya. Kakak sulungnya itu langsung mengiyakan tanpa banyak tanya.
“Iya pisahkan dulu saja. Mau Mas jual ke pengepul sampah sejak lama, tapi dilarang mbakmu terus. Nggak tahu mau untuk apa dia koleksi barang-barang rusak.”
Pagi-pagi sekali, Sinta sudah mengambil alih tugas mencuci baju yang biasanya dikerjakan oleh Sekar. Pagi ini Sekar harus berangkat lebih pagi, katanya ada laporan kinerja yang belum dikerjakan. Sehingga dia akan mengerjakannya di kantor dengan konsekuensi berangkat lebih pagi.
Kegiatan mencuci baju itu tidak terlalu memberatkan, karena menggunakan mesin cuci. Sinta hanya perlu memilah-milah berdasarkan warnanya. Di tengah kegiatan itu, indera penciumannya menangkap aroma aneh yang tidak pernah diciumnya sebelumnya. Saat dia cari-cari ternyata berasal dari kemeja kerja milik Sekar.
Baunya aneh dan sayangnya Sinta tidak mengenali bau apa itu. Tapi di detik itu Sinta memilih mengedikkan bahu dan bergumam, “Mungkin karena Mbak Sekar sales, ‘kan harus keliling menyusuri jalan, masuk ke pasar. Jadi bau asap rokok, bau asap kendaraan, bau becek di pasar, bau sayuran yang sudah busuk bercampur menjadi satu dan jadilah bau aneh seperti ini.” Untuk selanjutnya tidak dia pikirkan lagi.
“Bu, Sekar mbok karo diawasi, awake maju sue maju gering kaya kae,” ucap Arya yang pagi itu sudah berada di rumah Ibu.
“Gie, Sinta ya gering tapi geringe gering sehat. Sekar awake garing,” lanjutnya saat Sinta lewat di depannya untuk menuju kamar depan, menjalankan misinya pagi ini.
“Ujarku sih nek nang umah ya maeme bener koh. Paling senenge ngopi. Nek Sinta ‘kan nginum susu aben esuk dadi sehat.”
“Mbok kembul karo bocah-bocah ora bener.”
“Nyong ya teyenge ngawasi kang umah, koe sing bocah lanang, jligange dawa.”
Tapi pembicaraan itu hanya sebatas itu. Tidak pernah ada tindak lanjut atas kekhawatiran yang muncul di benak Arya. Bukan hal baru, sejak dulu Arya memang hanya bisa berpendapat tanpa tindakan.
Sepanjang pagi itu sampai Duhur, Sinta sibuk memberesi rumah. Waktunya terkuras banyak karena dia harus mengangkat-angkat barang milik Arya yang berantakan. Kamar depan itu niatnya akan dia jadikan ruangan untuk bekerja. Jadi barang-barang itu harus dikeluarkan semuanya. Sebenarnya kalau membersihkan rumah seperti yang biasa dilakukannya setiap hari, tidak akan memakan banyak waktu. Tapi karena banyak sekali barang-barang yang sudah tidak lagi layak—menurutnya—yang harus diberesi, itu lumayan menguras waktu dan tenaga. Sehingga ba’da Duhur, Sinta hanya bisa berbaring kelelahan, dengan kondisi ruang tamu dan kamar depan yang sudah rapi.
Malamnya, ba’da Maghrib, Sinta sedang mengajari Ulya mengaji. Dari ventilasi kamarnya ada yang mengganggu menggunakan sapu panjang yang biasanya digunakan utnuk membersihkan bagian atas rumah. Ulya sempat akan mengintip, namun Sinta melarangnya, “Biarin aja.” Sinta sudah mengira, itu pasti kelakuan salah satu anak Arya. Dan keduanya kembali fokus mengaji.
Namun gangguan itu tidak berhenti sampai di sana. Si pelaku tetap melancarkan aksinya untuk membuyarkan konsentrasi Sinta. Dan akhirnya Sinta beranjak, membuka pintu depan. Mendapati istri Arya yang sedang duduk santai dengan kedua kaki diangkat, dia duduk di kursi panjang di samping rumah. Sementara yang mengganggunya sejak tadi adalah anak sulung Arya. Persis seperti dugaannya.
Sinta enggan marah pada awalnya. Tapi melihat keberadaan istri Arya yang hanya menonton kelakuan anaknya, tanpa dinasihati, tentu saja membuat emosinya terpacu. Dia sedang mengajari Ulya mengaji, tapi malah diganggu. Istri Arya bukannya mengajari hal benar pada anaknya malah mendorongnya untuk mengganggu Sinta. Sinta tidak banyak bicara, dia segera merebut sapu panjang itu dan membantingnya menjauh. “Sini masuk! Kalau ada masalah sini masuk dan bicarakan dengan jelas,” ujarnya dengan nada tajam.
“Itu kenapa barang-barang dikeluarkan seenaknya?” ujar anak sulung Arya dengan nada takut-takut. Menunjuk setumpukan barang yang sengaja Sinta taruh di belakang rumah Arya. Itu barang-barang yang menurutnya sudah tidak lagi terpakai.
“Itu sampah, ‘kan?” tanya Sinta sembari melotot tajam. “Sampah harusnya dibuang, nggak dikumpulin di rumah Ibu. Asal kalian tahu ya, ini rumah Ibu, bukan gudang penyimpanan,” ujarnya tanpa berteriak, tapi suaranya terdengar tajam.
“Loh kami udah minta izin sama Ibu.” Si otak keributan malam ini turut bersuara. Dengan pose yang belum berubah, duduk santai dengan kedua kaki diangkat.
“Yakin?” tanya Sinta yang membuat manusia-manusia itu gelagapan. Suaranya sudah meninggi.
Ibu memang pernah melarangnya mengajukan protes pada keluarga Arya dengan alasan Ibu enggan ribut. Tapi manusia-manusia seperti mereka yang suka seenaknya, tidak bisa jika terus dibiarkan. Ibu boleh saja mengalah, tapi Sinta tidak. Ibu mungkin bisa saja hanya diam, tapi tidak dengan Sinta. Akan dia basmi habis-habisan manusia tidak tahu diri yang suka seenaknya.
“Kandang burung di ruang tamu, tumpukan ban yang juga bikin tembok ruang tamu Ibu jadi baret. Terus kalian juga masih sempat nitipin sampah? Kan bisa kalian jual ke pengepul sampah.”
“Itu kami masih butuh, Ta. Sesekali masih kami pakai.”