Izin kesekian jika Sekar tidak pulang ke rumah. Dia akan kembali menginap di kosnya. Dan seperti respon-respon sebelumnya, baik Ibu maupun Sinta mengiyakan tanpa berpikir macam-macam. Daripada itu, Sinta justru menggarisbawahi hal lain.
“Emang ada yang mau satu kos sama Mbak Sekar ya, Bu? Dia ‘kan nggak tertib, kalau baru pinjam tempat makan atau tempat minum Sinta juga nggak langsung dicuci, ‘kan kalau Sinta mau pakai jadi nyuci sendiri. Terus kadang suka ambil baju Sinta seenaknya kalau nggak pakai parfum Sinta, ‘kan sebel ya, Bu?”
Ibu tidak memberikan respon apa-apa. Hanya tertawa dengan ungkapan kekesalan Sinta. Tapi toh selama ini Sinta tetap mengizinkan walaupun agak kesal.
Tapi beberapa hari setelahnya hari itu, Sekar kembali tidak pulang. Tanpa mengabari seperti sebelumnya. Sinta tidak berpikir macam-macam, kalau Sekar belum mengabari berarti dia akan pulang, walaupun malam. Seperti yang dilakukannya sebelum-sebelumnya. Tapi malam itu, sampai pukul sembilan malam, Sekar tidak juga mengabari dan tidak juga terlihat batang hidungnya.
Arya juga sempat ke rumah, menyampaikan kekhawatiran yang sama. Sinta mencoba menghubungi ke nomor Sekar berkali-kali tapi nomornya tidak aktif.
“Ini jelas ada yang nggak beres, Ta,” ucapnya. Ada raut marah yang berusaha disembunyikan. Dalam kondisi seperti ini, pasti pikiran sedang tidak karuan. Apalagi Sekar adalah anak perempuan.
“Sekar memang nggak bisa dipercaya. Mbok ya belajar dari kelakuan buruk kakak-kakaknya yang akhirnya merugikan diri sendiri. Mbok ya dicontoh adiknya yang nggak neko-neko. Dia juga selama ini hidupnya nggak enak karena kelakuannya sendiri. Kok masih saja.” Arya masih menyampaikan keluhannya. Kedua tangannya menyangga kepalanya.
Di antara mereka, pasti Arya yang paling merasa bersalah, khawatir, kesal, dan campuran rasa lainnya dalam keadaan seperti ini. Bagaimanapun, semenyebalkan apapun Arya, dia tetaplah kakak sulung yang langsung mendapat bagian ‘pengganti Bapak’ setelah Bapak meninggal. Apa yang dilakukan adik-adiknya, akan menjadi tanggung jawabnya juga. Walaupun dia hanya sesekali ikut mengambil tanggung jawab.
“Kita tunggu sebentar lagi. Nanti kalau nggak pulang juga aku coba hubungi beberapa temannya.”
Malam yang gelap, dengan langit tanpa bintang, tidak lama disusul suara petir dan hujan itu turun dengan derasnya, membuat pikiran Sinta semakin tidak karuan. Ibu sudah masuk ke kamarnya bersama Ulya. Menidurkan Ulya yang belum mengerti tentang kekhawatiran orang-orang dewasa di sekitarnya.
Sinta tetap terjaga sampai pukul sepuluh malam. Di jam-jam itu, dia terus menanyakan keberadaan Sekar pada nomor teman-teman Sekar yang kebetulan dia simpan. Beberapa memberitahunya jika memang tadi bertemu di kantor, dan seperti hari-hari sebelumnya, Sekar pulang tepat waktu, di jam pulang kantor.
Ada juga yang menyarankan untuk bertanya ke satpam kantor. Siapa tahu Sekar kembali ke kantor untuk mengurus pekerjaannya atau apapun. Dan mungkin saja ponselnya mati. Atau tiba-tiba mati listrik sehingga Sekar tidak bisa mengabari. Semua hal bisa terjadi di tengah cuaca buruk dengan petir yang menyambar-nyambar. Dan Sinta berkali-kali memaksa dirinya sendiri untuk tetap berpikir positif.
Sinta menghubungi nomor satpam kantor tempat Sekar bekerja dan dia mendapatkan banyak informasi dari pak satpam. Pak satpam juga mengatakan memang akhir-akhir ini Sekar suka bergaul dengan beberapa orang—yang bukan orang-orang kantor, dan suka pergi-pergi bersama mereka. Sore ini Sekar pulang tepat waktu, bersama teman-teman yang sama. Pak satpam mengenal salah satunya dan dia berjanji akan membantu menanyakan keberadaan Sekar.
Sinta juga menghubungi Wira, salah satu teman Sekar yang sudah dikenal baik oleh keluarga. Wira memberikan saran jika bisa Sekar dicari malam ini juga. Karena Sekar sudah memberikan indikasi yang mencurigakan, tidak pulang dan tidak meminta izin seperti biasanya. Takut jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Di tengah kebingungannya, Sinta menghubungi Arya yang ternyata juga belum tidur. Kakak sulungnya itu tengah merasakan kekhawatiran yang sama. Dia meminta bantuan Arya untuk mencari Sekar malam ini juga. Sinta juga sudah meminta bantuan Wira dan pak satpam untuk turut serta membantu pencarian Sekar.
Awalnya Sinta yang akan ikut bersama Arya, biar Ibu yang menjaga Ulya. Cuaca sedang buruk-buruknya dan Ibu punya hipertensi. Sinta takut kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan membuat Ibu ambruk. Namun, atas saran Wira, sebaiknya Ibu yang ikut.
“Ibu nggak apa-apa?” tanya Sinta memastikan saat Ibu baru saja akan menaiki mobil.
Ibu tersenyum seraya mengangguk, meyakinkan Sinta. Wajah lelah dengan kedua mata yang sudah tidak seterang dulu menatapnya teduh. “Ndak apa-apa, Nduk. Ibu berangkat dulu ya. Jaga Ulya.”
Sinta hanya bisa mengangguk patuh sembari menahan tangisannya. Kenapa terjadi lagi, Tuhan?
Ibu sudah terlalu banyak menelan pahitnya kehidupan. Wajahnya yang sudah keriput, tubuhnya yang sudah tidak setegap dulu, sudah menjadi bukti betapa Ibu bekerja keras untuk anak-anaknya. Betapa Ibu mengusahakan banyak hal untuk anak-anaknya. Berjuang seorang diri, tanpa adanya Bapak di sisi.
Kenapa kerja keras Ibu, perjuangan Ibu, harus terus-menerus dibalas dengan hal seperti ini? Di usia senjanya, Sinta hanya ingin melihat Ibu tenang tanpa memikirkan hal-hal yang memberatkan pundaknya.
Sinta mengusap kasar air matanya yang menetes deras. Dia tidak boleh menangis. Dia dibesarkan oleh seorang ibu yang begitu tangguh menghadapi dunia yang tidak ramah. Sinta juga tak memiliki alasan untuk menjadi cengeng seperti ini.
Ibu dan Arya berangkat dari rumah tepat pukul sebelas malam, mengendarai mobil. Membelah malam yang diguyur hujan deras dengan kilatan petir yang masih menyambar-nyambar. Sementara itu Sinta menemani Ulya yang lelap dalam tidurnya.
Pikirannya tak karuan. Takut jika saja Sekar berbuat sesuatu yang merugikan dirinya sendiri, dan tentu saja akan menyakiti hati pihak keluarga, terutama Ibu. Sinta juga mengkhawatirkan Ibu yang memiliki hipertensi. Semoga saja tidak ada hal-hal yang membuat tensi darah Ibu meninggi.
Selain itu, dia juga mengkhawatirkan Ulya. Melihat wajah polosnya yang lelap dalam tidur, membuat Sinta menangis tanpa sadar. Dia memperhatikan lekat-lekat wajah anak kecil yang sudah berkali-kali disakiti oleh orang tuanya sendiri, oleh saudaranya yang lain. Bagaimana dengan Ulya jika hal-hal buruk dilakukan Sekar malam ini?
Pikiran-pikiran buruk itu membuat Sinta tetap terjaga sepanjang malam. Matanya tidak bisa terpejam lelap seperti malam-malam sebelumnya. Kepalanya terus memutar pikiran-pikiran buruk, yang semakin diikuti semakin membuat napasnya sesak. Tidak peduli berapa kali Sinta berusaha menepis pikiran buruk itu, mereka tetap menguasai keseluruhan pikirannya.
Sekitar pukul setengah dua malam, Sinta menghubungi Arya untuk menanyakan perkembangannya.
“Mas gimana?”
“Sudah ketemu, Ta. Di kos lagi mabuk-mabukan sama teman-temannya. Pancen bocah ora mikir blas,” umpatnya di akhir kalimat. Sinta bisa mendengar nada marah dan getar suara Arya. Kakak sulungnya itu pasti marah besar. Sinta tidak akan menyalahkan respon yang teramat wajar itu. Masih mending Arya tidak menonjok Sekar langsung di tempat.
Sinta memijat pelipisnya, air matanya menetes tanpa bisa dia tahan. Melihat wajah Ulya yang tetap lelap, membuat rasa sakit itu bertambah berkali-kali lipat. Bagaimana ini?
“Ibu baik-baik aja, ‘kan?” Sinta enggan mengetahui kabar Sekar lebih lanjut. Dia justru mengkhawatirkan kondisi Ibu. Takut jika tensi Ibu tiba-tiba naik dan malah membuat semuanya runyam.
“Ibu baik kok. Ibu tatag. Nanti kalau sudah sampai di rumah, minta tolong ditenangkan ya, Ta.”