“Sinta, apa kabar?”
Sinta yang baru saja membukakan pintu depan tercengang mendapati sosok teman masa kecilnya sudah berdiri di depan pintu rumah sembari memasang senyuman. Ada seorang anak kecil perempuan bertubuh kurus berada dalam gendongannya. Anak itu berusia sekitar dua tahunan lebih.
“Dira,” panggil Sinta begitu keterkejutannya sudah berhasil dia kuasai. Dia segera mengajak Indira dan anak kecil itu masuk ke ruang tamu. Mempersilahkan keduanya duduk dan Sinta izin masuk sejenak untuk mengambilkan minum dan camilan. Indira memang menolak, mengatakan tak usah repot-repot, tapi Sinta tetap mengambilkan. Mengambilkan makanan dan minuman adalah salah satu bentuk sopan santun dalam menyambut tamu yang ibunya ajarkan.
Keduanya saling bertukar kabar di awal-awal pembicaraan. “Aku udah dua mingguan di rumah, tapi setiap kali mau ke rumahmu kata Mamak, ibumu lagi sakit. Jadi aku tunda-tunda terus.”
“Nomor kamu nggak aktif lagi. Ganti nomor lagi ya?” tanya Sinta. Dia ingin menanyakan Indira yang menghilang tepat setelah pernikahan itu. Padahal Indira berjanji akan mengabarinya begitu sampai.
“Maaf ya karena lagi-lagi memilih menghilang dan bikin kamu kepikiran. Harusnya aku jujur aja ‘kan sejak awal? Tapi aku nggak pernah seberani itu untuk jujur, Ta. Maaf sekali lagi.”
Sinta mengernyitkan alisnya tidak mengerti. Ke mana arah pembicaraan Indira sebenarnya? Oh, anak kecil yang bersama Indira adalah anak pertama Indira. Tania yang berusia 2 tahun. Indira sudah mengenalkannya di awal pembicaraan mereka.
“Kayaknya tanpa aku jelasin kamu udah bisa mengira-ira. Usia Tania yang udah 2 tahun udah bisa menjelaskan semuanya, ‘kan?”
Sinta memang sempat menaruh curiga di awal, tapi dia tidak pernah berniat menanyakan apalagi sampai berburuk sangka. Bisa saja ‘kan Tania lahir di usia yang belum sembilan bulan atau apapun itu. Sinta merasa tidak seharusnya menaruh kecurigaan pada teman baiknya sendiri.
“Saat pernikahanku waktu itu, Tania udah ada diperutku. Usianya udah 4 bulan, Ta,” ucap Indira. Kedua matanya berkaca-kaca, namun dia masih berusaha tampak kuat dengan tetap menunjukkan senyumannya.
“Aku pengen banget jujur sama kamu dan Saras. Kalaupun semua orang bisa dibohongi, aku jelas nggak bisa membohongi kalian berdua soal kondisiku. Tapi aku juga nggak pernah mampu untuk jujur sama kalian. Maaf, Ta.”
Indira terisak, kedua bahunya bergetar. Yang juga menularkan rasa sedih itu pada Sinta. Dia bahkan tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Sinta selalu melihat Indira sebagai teman kecilnya, yang sama seperti yang dikenalnya sejak keduanya masih bermain petak umpet di masa itu.
Sinta selalu menganggap Indira bahagia dalam pernikahannya. Tumbuh bersama laki-laki yang memang dipilih berdasarkan kriteria yang Indira tentukan sebagai laki-laki yang cocok menjadi imamnya, menjadi pemimpinnya. Siapa sangka jika keduanya menikah lantaran ada anak yang harus dipertanggungjawabkan.
“Aku malu setiap kali lihat kamu. Kamu yang terus mau berjuang untuk masa depanmu, nggak peduli bagaimanapun kondisinya, nggak peduli seberat apa kakimu meneruskan perjalanan. Kamu tetap seperti Sinta yang kukenal sejak kecil. Si ambisius yang nggak pernah mau menyerah sama mimpi-mimpinya. Aku malu, Ta… untuk ke sini, hari ini aja aku harus nyiapin diriku untuk menceritakan sejujurnya sama kamu. Maaf, Ta. Maafin aku.”
Indira semakin terisak sedih. Sinta sampai harus ikut menenangkan dengan menepuk-nepuk bahunya yang bergetar. Tania terlihat tidak peduli, dia sedang memakan camilan yang Sinta bawakan dan tidak berniat untuk menginterupsi dua orang dewasa itu.
Sinta tidak mengatakan apa-apa. Dia terlalu terkejut dan kehilangan kalimat untuk sekadar merespon. Seolah baru saja disadarkan dari tidur panjang, Sinta linglung.
“Lost contact kita yang pertama itu sengaja aku lakukan karena aku malu untuk jujur sama kamu kalau aku nggak bisa lanjut kuliah. Padahal tahun pertama kuliahmu, aku semangat banget untuk ikutin jejak kamu. Kalau bisa kita sekolah di kampus yang sama, supaya aku bisa sering ketemu kamu. Tapi karena aku nggak keterima di mana-mana, dan Bapak membatasi kampus yang aku daftarkan, aku memilih menghilang dari kamu, Ta. Kamu pasti kebingungan saat itu. Maaf juga untuk perkataan orang tuaku yang menilai ini, itu soal kamu.”
Sinta menggeleng. Dia bahkan sudah memaafkan kalimat-kalimat buruk yang dilemparkan padanya, dari kedua orang tua Indira. Sinta memang belum bisa melupakan, tapi dia tak apa-apa. Dia baik-baik saja.
Kalimat meledek dari bapak Indira saat Sinta tidak juga menemukan kampus impiannya, pendidikan yang katanya tidak penting bagi kedua orang tua Indira bukanlah penilaian yang harus membuat Sinta terpuruk apalagi terganggu. Jika memang keduanya merasa itu tidak penting ya tidak masalah. Karena bagi Sinta pribadi itu hak mereka untuk mengatakan jika pendidikan tidak penting.
Tapi ceritanya akan lain kalau untuk Sinta. Karena baginya, pendidikan penting, teramat penting malah. Sinta suka dengan pendidikan, dengan belajar, dengan proses untuk mencari ilmu. Dia selalu suka saat dirinya sedang diarahkan untuk tahu tentang sesuatu yang baru, yang sebelumnya tidak diketahuinya.
Dan hal itu tak akan terpengaruh apa-apa oleh pendapat orang lain. Jadi baginya, kalimat yang diajukan kedua orang tua Indira padanya, bukanlah masalah besar. Cukup menyakiti pada awalnya. Tapi toh sekarang dia merasa tak apa-apa.
“Seharusnya aku jujur sama kamu dan minta solusi, ‘kan? Bukan malah menghilang dan bikin kamu kebingungan. Aku nggak pernah benci sama kamu, Ta. Sama sekali nggak pernah. Aku cuma benci sama diriku sendiri setiap kali lihat kamu. Seharusnya aku lebih berusaha lagi, seperti yang selalu kamu lakukan. Seharusnya aku nggak segampang itu menyerah untuk memperjuangkan mimpiku.”
“Dua tahun aku menghilang dan nggak pernah pulang. Kamu tahu ‘kan gimana Mamak? Mamak nggak memperbolehkan aku pulang sebelum aku benar-benar sukses. Aku bingung banget saat itu sampai aku melakukan kesalahan yang seharusnya nggak aku lakukan. Aku pikir, nggak ada lagi yang peduli sama aku. Jadi menurutku, biar aku yang menentukan gimanapun mauku. Tapi setelah bertindak terlalu jauh, aku menyesali semuanya, Ta. Aku bodoh banget, ‘kan?”