Ada satu hal aneh yang membuat Sinta bertanya-tanya di sepanjang acara ijab kabul itu. Seolah ada himpitan lain yang memaksa parunya untuk bernapas lebih dalam lagi, atau memutar otak lebih keras lagi.
Dia tidak menyadari ada yang terlewat selama ini. Dia berusaha sebaik mungkin dalam mendampingi Ulya untuk melihat sang mama yang akan menikah lagi, walaupun sejak awal anak kecil itu menolak. Pun saat sampai di acara, Ulya tetap memasang wajah tak terima, terlihat tak acuh dengan apa yang dilihatnya.
Pertemuannya dengan sang mama juga bukanlah pertemuan penuh haru biru, sama sekali bukan. Anak kecil itu hanya bersalaman, kemudian kembali berbalik dan memeluk Sinta erat-erat. Tidak ada ungkapan rasa rindu, tidak ada tangisan yang jatuh, atau sorakan bahagia. Semua terasa netral.
Keanehan itu sebenarnya bukan bersumber dari sikap Ulya. Baginya, sikap yang Ulya tunjukkan adalah hal yang sangat wajar dari seorang anak perempuan atas protesnya yang tidak setuju dengan pernikahan ibunya, namun tak bisa dituruti begitu saja. Keanehan itu justru terlihat dari para orang dewasa yang tampak menghadiri ijab kabul itu.
Jelas bukan hubungannya dengan istri Arya yang memang tak lekas membaik. Sinta hanya membangun batasan sebaik mungkin untuk tidak lagi menempatkan istri Arya sebagai salah satu manusia yang penting dalam hidupnya. Dia sejak awal hanya orang lain, ‘kan? Sempat diakui sebagai istri dari kakaknya, yang secara otomatis akan menjadi kakak iparnya, tapi lantaran sikapnya yang kelewatan saat itu, Sinta tidak lagi menempatkannya di posisi yang sama.
Ya, katakanlah sebatas istri dari kakak sulungnya, sebatas itu. Tidak lebih, tidak kurang. Dia tetaplah orang lain bagi Sinta. Sinta enggan terlibat drama berkelanjutan yang dibuat sendiri oleh istri Arya. Maka sejak tahu bagaimana tabiatnya, dia membangun tembok tinggi dan menjadikan istri Arya sebagai salah satu yang tak akan pernah memiliki akses untuk masuk ke dalam hidupnya lagi. Manusia semacam itu bukanlah sosok yang harus dipertahankan dalam sebuah hubungan sosial. Terlalu banyak drama yang ditawarkan, menghambat lajunya dalam berlari.
Oh jelas bukan karena Sinta membenci. Sinta tak pernah menaruh kebencian pada manusia. Dia tak pernah diajari untuk melakukannya. Dia memang sempat membenci sikapnya yang keliru. Dan semenjak hari itu, diikuti hari-hari yang terus bergulir, kebencian akan sikap buruk itu perlahan menguap, tak lagi memiliki sisa. Mungkin hanya seberkas terakhir yang menggumpal di bagian paling bawah dan membutuhkan waktu lebih lama untuk dibersihkan.
Karena Sinta menempatkan istri Arya di posisi itu, dia tak pernah peduli. Ada tidaknya istri Arya bukanlah sesuatu yang mempengaruhi hidupnya. Dia hanya dibuat bingung oleh sikap sepasang manusia yang akan menjadi sepasang pengantin itu.
Terakhir saling menghubungi, saat Sekar mengabarinya akan pulang lantaran memiliki masalah hutang. Kemudian Sinta mengabari hal ini pada Bagas, dan Bagas marah besar. Sempat menolak kepulangan Sekar, namun tidak diindahkan. Malah sepasang manusia itu sudah tiba-tiba pulang.
Sekar memang tidak pulang ke rumah Ibu. Untuk yang satu ini Sekar cukup tahu diri. Dia menempati rumah milik saudara dari ibunya Wira. Ada banyak hati yang disakiti dan melihat keberadaanya jelas akan lebih menyakiti. Maka dari itu, karena Wira dan keluarganya juga mengatakan akan bertanggung jawab atas hutang-hutang itu, mereka suka rela menampung Sekar juga.
Sinta menyadari ada kejanggalan dari sikap Sekar dan Wira. Keduanya sempat meminta maaf sebelumnya, melalui telepon. Tapi sekarang sikapnya benar-benar berbeda dan tampak mengacuhkan keberadaan Sinta. Bahkan keduanya tidak menyalaminya sama sekali, tidak menatap keberadaannya, seolah-olah Sinta hanya bagian dari kehidupan yang memang ada dan terpajang di sana. Bukanlah sosok yang harus ditanyai, atau lebih-lebih lagi, bukankah Sekar berhutang banyak kalimat maaf atas perlakuan semena-sema itu? Bukankah di sini yang paling disusahkan oleh Sekar adalah Sinta? Sinta yang selama ini menjaga dan mendidik Ulya, ‘kan? Yang dititipi dengan janji akan kembali dalam keadaan sudah sukses.
Hei, Sinta bahkan merelakan banyak waktu, tenaga, pikiran untuk mendampingi Ulya selama dia ditinggal pergi oleh ibunya. Sinta yang sabar meladeni pertanyaan-pertanyaan Ulya mengenai orang tua, ayahnya yang tak pernah tampak, menemaninya dan mendampinginya setiap hari. Bahkan membelanya dengan memasang badan untuk mengusaikan beragam hal-hal buruk yang sebelumnya dialami Ulya.
Sinta juga tak pernah menjelek-jelekkan Sekar di hadapan Ulya. Sinta selalu mengambil dari perspektif yang berbeda agar Ulya bisa mengambil pelajaran dari sikap buruk sang mama.
Karena baginya, tidak ada gunanya menjelek-jelekkan seseorang yang memang sudah jelek. Untuk apa? Buang-buang waktu dan tenaga saja.
Daripada itu bukankah lebih baik mengambil pelajaran dari perilaku buruk itu? Sehingga Ulya bisa memetik nilai positifnya untuk tidak bersikap seperti sang mama.
Lalu, kenapa keduanya sekarang mengabaikan keberadaan Sinta?
Sikap tak acuh itu terus diterimanya sampai acara selesai. Saat mentari sudah tepat di atas kepala, Sinta pamit pulang duluan, dengan Ulya yang memaksa ikut. Sekar sudah secara resmi ikut suaminya. Keduanya tinggal di rumah yang sebelumnya hanya dihuni oleh Sekar seorang diri.
Ulya diminta lebih lama bersama ibunya, namun anak kecil itu segera menolak dan memaksa ikut Sinta. Tidak ada yang bisa dilakukan selain menuruti. Apalagi wajah Ulya yang sudah hampir menangis. Sehingga Sinta tidak bisa menolak itu dan membawa Ulya kembali pulang ke rumah Ibu.