Siang itu Ibu bercerita jika Saraswati datang ke rumah. Badannya yang dulu sempat membesar lantaran hamil kini sudah mengecil lagi. Bahkan bisa dikatakan terlampau kurus. Saraswati membawa serta anaknya.
“Kok Ibu nggak panggil Sinta?” tanyanya protes. Sinta bahkan tidak tahu jika Saraswati baru saja ke rumah.
“Ndak mau ketemu kamu katanya. Mau ketemu Ibu.”
Sinta mengernyitkan alisnya tak mengerti. “Tiba-tiba banget. Ada apa?”
“Kasihan temanmu itu loh, Nduk. Badannya kurus sekali, kecil, kaya sada. Dia juga tinggal di rumah peninggalan bapaknya sekarang sama kakak laki-lakinya.”
Sinta mengangguk-angguk. “Memang katanya tinggal di rumah mertua nggak enak, Bu. Mendingan tinggal di rumah sendiri.”
Ibu menghela napas. “Dia pindah juga gara-gara mertuanya.”
“Maksud Ibu ada cekcok?”
Ibu mengangguk. “Saras lama ndak kelihatan, ‘kan?” tanya Ibu yang hanya bisa mencebikkan bibir lantaran Sinta yang meresponnya dengan bingung. “Ah kamu mana tahu, sibuk sendiri sama kerjaanmu. Sebelumnya Ibu sering lihat Saras motoran sama anaknya, ngajak anaknya jalan-jalan mungkin. Tapi beberapa bulan ini ndak pernah kelihatan. Waktu Ibu tanya, katanya beberapa bulan ini Saras ke Kebumen, belajar bahasa asing. Dia mau ke Hongkong.”
Sinta mulai tertarik dengan pembicaraan yang Ibu bawa sebagai teman selepas makan siang.
“Dia tinggal di rumah penampungan, Nduk. Kan katanya daftar dulu, terus ditampung sekalian belajar bahasa, dapat pelatihan keterampilan, baru nanti kalau sudah dianggap mampu bisa berangkat ke luar negeri. Lagian dari sini ke Kebumen jauh, dua jam. Mau dilaju setiap hari ya kasihan, masuk angin nanti. Tapi di rumah penampungan itu, dia malah sakit-sakitan. Bocah pancen dasare gering malah dadi tambah gering,” ujar Ibu berucap miris.
“Esih enom banget kancamu loh, Nduk,” keluh Ibu tidak tega.
“Saras mau kerja di luar negeri maksud Ibu?”
Ibu mengangguk.
“Kenapa? Alasan dia tiba-tiba memutuskan untuk kerja di luar negeri itu apa? Karena semenjak sebelum menikah, yang Sinta tahu, Saras bersemangat banget sama pernikahannya.”
“Ndak tahan dia dengerin mertuanya setiap hari. Dibanding-bandingkan sama PNS yang punya gaji setiap bulan, sering jelek-jelekin ibunya Saras juga. Kamu tahu ‘kan, Nduk, ibunya Saras ‘kan sempat merebut suami orang, dan sekarang nikah siri sama laki-laki itu. Dibahas terus keburukan ibunya. Dibilang bukan menantu idaman yang mertuanya mau. Dikomentari terus, kalau makan dilihatin sama mertuanya. Ya ndak tenang lama-lama.”
Sinta mengangguk paham. Ibunya Saraswati memang dikenal sebagai perebut suami orang di desanya. Sudah beberapa rumah tangga ribut karena kelakuan ibunya Saraswati. Kejadian terakhir malah sampai menikah siri. Itu pun dari pihak desa sempat ditegur, bukan perlakuan yang seharusnya, melanggar norma, tapi sayangnya tidak ditanggapi dengan baik. Malah keduanya sudah punya rumah sekarang.