Lalu, Kenapa Kalau Aku Perempuan?

Natsu Hana
Chapter #18

18. Fakta Mengejutkan

“Ante, boleh nggak kalau Ulya jadi anak Ante aja?”

Sinta yang sebelumnya sedang membaca buku, mengernyit heran mendapati keponakannya yang tiba-tiba hadir dan mengajukan pertanyaan semacam itu.

“Kenapa?” tanya Sinta tak mengerti. Ulya memang suka mengajukan pertanyaan aneh, tapi tidak pernah seaneh ini.

“Ulya nggak suka sama Mama. Ulya nyesel karena dilahirkan oleh Mama, kenapa nggak dilahirkan Ante aja?”

Sinta tahu dia seharusnya tidak tertawa dengan pertanyaan itu. Tapi karena Ulya menanyakannya dengan suara dan wajahnya yang teramat polos, Sinta tidak bisa menahan tawanya.

“Ulya ‘kan lahir saat Ante baru 16 tahun, itu Ante masih sekolah. Masa masih sekolah udah punya anak,” canda Sinta. Ingin menarik suara tawa Ulya untuk terdengar. Tapi wajah itu tetap terlihat murung.

“Ulya nggak suka Mama yang selalu buat Yangti, Ante, dan Pakde kesusahan. Ulya nggak suka Mama yang terus ngerepotin kalian.”

Sinta menghela napas. Menutup bukunya. Ada hal penting yang harus dia ajarkan pada Ulya. Anak kecil ini terus tumbuh setiap harinya dan Sinta punya kewajiban untuk memberinya pelajaran atas kehidupan. Apalagi beberapa hari kemarin dia baru saja mendengar ungkapan tidak berdasar yang menjelek-jelekkannya. Sinta enggan dianggap berbuat buruk lagi.

Walaupun sebenarnya itu bukan urusannya. Mau orang berkata apa mengenai dirinya, berkomentar buruk mengenai dirinya, tak akan berpengaruh pada karakternya. Namun mengajari Ulya, memberinya pengertian atas kehidupan ini sekarang menjadi kewajibannya juga. Mengingat Ulya sedang berada dalam pengasuhannya sekarang.

“Nggak apa-apa kok. Ulya boleh nggak suka sama sikap buruk seseorang, seperti yang Ulya lakukan sekarang. Ulya nggak suka karena Mama ngerepotin, suka bikin masalah. Itu wajar, manusiawi. Itu bukti kalau Ulya nggak setuju dengan perbuatan Mama yang buruk. Dengan begitu Ulya nggak akan melakukan kesalahan yang sama seperti yang Mama lakukan di masa depan nanti, saat Ulya seusia Mama.”

Ulya mengangguk. “Untuk apa menyusahkan diri sendiri.”

Good!” ujarnya mengusap-usap rambut Ulya yang mulai memanjang. “Itu salah satu nilai baik yang bisa Ulya petik. Karena Ulya membenci Mama dengan sikap buruknya, Ulya nggak boleh bersikap buruk seperti Mama. Tapi Ulya hanya boleh membenci perilakunya, nggak dengan Mama.”

“Ulya nggak boleh membenci Mama?”

Sinta mengangguk. “Karena yang buruk perilakunya, sikapnya, bukan mamanya. Sikap dan perilaku buruk bisa berubah, sambil belajar, sambil diberitahu, lama-kelamaan perilaku buruk itu akan berubah jadi baik. Tapi Mama sebagai manusia, tetaplah mamanya Ulya yang harus dihormati.”

Ulya mengeluh. “Gimana Ulya bisa hormat ke mama yang seperti itu?”

“Nggak apa-apa kalau Ulya masih marah. Nggak apa-apa kalau Ulya belum bisa menerima kodisi Mama yang sekarang dengan Om Wira yang jadi ayah Ulya. Seperti perilaku Mama yang perlahan akan membaik, marahnya Ulya juga pelan-pelan akan menguap. Sekarang Ulya boleh kok marah sama Mama, kesel sama Mama, nggak mau ke rumah Mama, nggak mau menerima telepon atau ngabarin Mama. It’s ok, kami menghargai dan mengakui kemarahan Ulya. Itu manusiawi. Justru aneh kalau Ulya nggak marah, ‘kan? Tapi satu hal, Ulya harus janji sama Ante, kalau marah nggak boleh membentak, nggak boleh berteriak keras-keras.”

Anak kecil itu terus memperhatikan wajah Sinta saat Sinta memberikan penjelasan panjang lebar itu. “Ante, memang bisa marah tapi nggak membentak?”

Sinta mengangguk. “Bisa. Kita belajar sama-sama ya?”

“Kalau Mama telepon dan Ulya nggak mau bicara?”

“Bilang sama Ante, nanti Ante yang akan jelasin sama Mama.”

“Tapi nanti Ante dibilang mau memisahkan Ulya sama Mama.”

Sinta tertawa. “Hah…. Keterlaluan banget ya ada yang tega bilang begitu.” Dia menghela napas panjang. Masih tidak habis pikir dengan kalimat buruk yang disampaikan tanpa dasar itu.

“Ante maaf ya, karena Ulya, Ante harus dianggap seperti itu.”

Sinta menggeleng tak setuju. “Bukan salah Ulya. Itu salah orang yang salah sangka aja. Lagian orang-orang seperti itu nggak penting, ‘kan? Nggak akan mempengaruhi karakter Ante juga. Nanti juga kalau capek berhenti sendiri.”

“Ante pernah bilang sama Ulya kalau orang baik biasanya ujiannya banyak. Ante orang baik makanya diberi ujian terus, padahal Ante nggak jahat. Kalau Mama ‘kan karena harus bayar denda udah nakal, udah berbuat nggak baik. Kalau Ante baik, tapi tetap dikasih ujian. Tuhan sayang sama Ante.”

Sinta tidak bisa menahan senyumannya. Dia refleks mengusap-usap kepala Ulya. “Sejak kapan anak kecil ini pintar bicara?”

“Sejak diajari sama Ante. Kata Ante juga nggak apa-apa banyak bicara, asal bicara yang bermanfaat. Bukan bicara ngarang, apalagi jelek-jelekin orang.”

Ya ampun. Sinta tidak bisa menduga jika apa yang dia ajarkan pada Ulya benar-benar tertangkap jelas oleh inderanya. Anak kecil itu tumbuh dengan baik, prestasi akademiknya baik, bahkan berkali-kali mewakili kelasnya dalam perlombaan. Dan satu hal, Ulya menyerap hal-hal baik dan digunakan dengan baik dalam hidupnya. Sinta tak akan mengaku dengan bangga kalau ini karena lantaran didikannya.

Dia mengakui, dalam perjalananya dia banyak kekurangan. Apalagi dia baru saja lulus kuliah yang langsung menerima amanah untuk mengurusi Ulya. Bukan hanya perihal perutnya yang harus dicukupi makanan, tapi kepalanya yang harus diguyur ilmu, juga jiwanya yang harus menerima kebaikan.

Lihat selengkapnya