Lalu, Kenapa Kalau Aku Perempuan?

Natsu Hana
Chapter #20

20. Hari Itu Tiba

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Sang waktu masih terus setia dengan pekerjaannya, tak pernah terlambat, tak pernah terlalu cepat. Semua sesuai, tepat.

Seiring waktu berjalan, Ulya mulai menunjukkan kemajuan yang baik. Anak kecil itu memang belum mau pindah ke rumah sang mama, masih tetap memilih bersama Ante dan Yangtinya, namun kini hubungan keduanya sudah berangsur membaik.

Saat akhir pekan, Sinta akan menyempatkan diri untuk mengantarkan Ulya ke rumah mamanya. Dia menginap sehari, dua hari, untuk Minggu sore kembali diantarkan ke rumah Ibu oleh Wira. Selama berbulan-bulan, mereka menikmati rutinitas itu. Jarang terdengar keluhan, tak ada kalimat keberatan. Meski harus bolak-balik setiap minggunya, semuanya berjalan baik.

Tuduhan mengenai Sinta yang memisahkan ibu dan anaknya tak lagi terdengar. Tak pernah ada kalimat-kalimat buruk juga yang sampai ke telinganya. Semua terasa netral, tak terlalu bahagia, tak terlalu membuatnya kepikiran.

Tak pernah ada kalimat permintaan maaf setelah itu. Dan Sinta memang tidak pernah mengharapkannya. Seperti yang pernah dikatakan sebelumnya, perkataan buruk orang lain atas dirinya bukanlah urusannya. Sinta hidup untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain. Apapun yang orang pikirkan tentangnya, bukanlah urusannya.

Semua terasa membaik, dan lebih baik lagi begitu pihak keluarga mendapat kabar bahwa Sekar hamil. Sinta sempat memutar kepalanya, bagaimana caranya menyampaikan berita ini pada Ulya. Takut jika kemarahannya pada sang mama belum menguap dan malah akan bertambah parah begitu dia mendengar kabar terbaru ini.

Tapi, di luar dugaannya, Ulya justru berseru antusias. Senyumannya mengembang lebar dengan sorakan senang yang dia tunjukkan sore itu membuat beban terakhir yang hinggap di pundak Sinta seolah menghilang begitu saja.

Keduanya sempat menengok kondisi Sekar. Dan beberapa bulan setelahnya, begitu perut Sekar semakin besar, menandakan ada makhluk hidup di dalam sana, Ulya menyampaikan keinginannya pada Sinta sore itu. Bermodalkan wajah polos yang penuh keraguan, ada perasaan takut juga yang tergambar dari raut wajahnya.

“Ante,” panggilnya. Menginterupsi Sinta yang sedang menikmati sore hari dengan buku bacaan dan secangkir teh hangat. Hal biasa yang selalu dilakukan setiap sore hari. Sinta membutuhkan space tersendiri untuk meluruhkan beban, rasa pusing, juga kepala yang berat setelah digunakan untuk bekerja seharian ini. Dan kegiatan membaca juga aroma teh hangat yang menyapa indera penciumannya selalu membuat rasa lelahnya hilang hampir separuh. Untuk separuhnya akan benar-benar luruh begitu dia mengistirahatkan dirinya di malam hari. Untuk esoknya kembali bangun dengan kondisi badan dan pikiran yang jauh-jauh lebih baik daripada kondisinya semalam.

“Kenapa?” tanya Sinta, mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Ulya.

“Ulya boleh nggak pindah ke rumah Mama?” tanyanya dengan suara pelan. Berhati-hati sekali takut kalimat itu akan menyinggung Sinta. Padahal bukankah hal ini yang ditunggu-tunggu Sinta sejak lama? Daripada menyinggung, Sinta justru merasakan kelegaan berbeda yang membuatnya bebas. Ya, inilah akhirnya.

Lihat selengkapnya