LALUNA

Amalia DF
Chapter #1

Tentang Nur

 

 “Salju turun lagi. Aku selalu tidak menyangka bahwa hawa akan sedingin ini. Lebih dingin dari kampung halamanku. Mungkin jika aku pulang, aku akan membawakan sekotak untukmu, biar kau tahu rasanya. Mungkin terdengar bodoh dan konyol, terkadang aku menjilatinya seperti menjilati es krim.“

Laluna termangu. Ada banyak makna dalam sepenggal surat Arifin. Mengingatkannya pada Alexander  Zulkarnaen, yang membawakan sekotak salju pada tawanan yang akan dipenggalnya. Sebuah permintaan terakhir yang sepertinya mustahil dipenuhi di gurun pasir nan tandus. Namun, Alexander membawakan sekotak salju itu di hadapan tawanannya. Tentu saja kemudian dia melaksanakan janjinya, kematian sang tawanan.

“Jadi, apa salah bila aku melabuh harap padanya? Tapi bagaimana membuat diriku yakin?”

Laluna mendesah, melipat surat Arifin dan mengembalikan ke dalam amplopnya. Mengamati perangko luar negeri yang tak pernah dilihat sebelumnya. Namun,  itu semua tidak mengobati kegalauan hatinya, seperti para pemburu filateli. Benda berharga menjadi tak berarti bagi yang tak mempunyai rasa dan makna.

Laluna meraih satu set spidol warna yang masih bersegel, Baru kemarin dibelinya di toko tidak jauh dari sekolah. Sejenak dia mereview isi surat Arifin. Tentang salju yang menyelimuti atap rumah induk semangnya. Tentang menara-menara yang memutih dan jalan-jalan yang sepi dan dingin. Laluna mensketsa semunya di balik amplop surat Arifin. Mungkin kelak dia bisa berada di sana. Mungkin bersama Arifin, mungkin juga tidak.

Pintu terbuka dan wajah Dewi muncul dengan ekspresi siap menggoda seperti biasanya.

“Hm? Surat dari Pangeran Salju lagi?”

Laluna menyisipkan amplop yang sudah bersketsa itu ke dalam buku diarinya. Buku diari yang berisi selipan surat-surat dan kartu pos Arifin. Entah, untuk apa dia merasa harus mengumpulkan semuanya dalam buku pribadinya. Bisa jadi, lelaki berkulit gelap itu mengirimi semua gadis seangkatannya dengan surat yang sama. Maklum, dia hanya orang gunung yang tak pernah melihat salju, jadi wajar bila dia terlalu berlebihan menganggap kehidupannya sekarang begitu penuh bunga. Namun, sekali lagi, Laluna tidak dapat menipu lubuk hatinya. Dia merindukan Arifin, tapi tidak berani berharap terlalu tinggi.

Semasa kuliah, Laluna kerap mencuri pandang—sembari  berusaha meredam gemuruh di dadanya—bila  tatapan matanya bersirobok dengan Arifin. Lelaki itu menyimpan sesuatu dalam hatinya, untuk Laluna. Laluna yakin hatinya tidak salah. Pun saat kartu pos pertama Arifin datang dari Kanada hanya untuk menanyakan kabarnya, dia tahu bahwa Arifin merindukan masa-masa di kampus dulu.

Lihat selengkapnya