Senja sudah merayap menuju malam. Laluna bersiap naik ke atas ranjang bersama tumpukan kertas hasil test murid-muridnya. Anglo sudah siap di bawah tempat tidur, malam dingin ini akan menjadi hangat. Arifin pernah berkabar bahwa di negeri seberang, ada perapian di kamarnya. Pastinya seperti di film-film. Dengan kayu silinder terpotong rapi. Dan api menggeliat ramah di perapian, menghangatkan ruangan.
Belum sempat Laluna memulai memeriksa selembar kertas, terdengar ketukan di jendela. Laluna menoleh ke arah jendela yang tertutup rapat. Dewi belum pulang. Pasti dia sedang berjuang keras mendapatkan hati ibu Nur. Dan itu perjuangan yang mustahil, karena besok Nur sudah harus menikah. Di bawah tangan. Undangan pastinya sudah tersebar.
“Tok ... tok ... tok!”
“Siapa?“
Laluna beringsut, turun dari ranjang. Dan dingin langsung menyergap telapak kakinya begitu menyentuh lantai. Dengan berjingkat, Laluna meraih sandal yang berada di dekat di pintu kamar. Biasanya, mbak Ratna tetangga mess guru mengirim makanan lewat jendela. Meski dia harus melalui beberapa pematang sawah untuk melaksanakan niatnya. Namun, suaminya kerap membantunya dengan menerangi jalan dengan senter.
“Tok ... tok ... tok!”
Laluna perlahan membuka gerendel jendela. Begitu jendela terbuka sedikit, angin malam menyeruak. Dingin. Laluna bergidik kedinginan, dan refleks memeluk dirinya sendiri. Di bawah temaram lampu dari arah teras, Laluna bisa melihat kepala berkuncir ekor kuda yang amburadul, tepat di bawah jendela.
“NUR?”
Gadis mungil bernama Nur itu berjongkok di bawah jendela. Berkali-kali dia celingak celinguk ke arah gedung sekolah. Dia berjongkok memeluk dirinya. Hanya memakai kaos lengan pendek dan rok merah seragam sekolahnya.
“Bu Luna? Mana Bu Dewi?” tanyanya dengan suara serak. Sepasang mata bulatnya menatap Laluna memelas.
“Nur? Ini sudah malam, kamu kok ke sini? Ada apa? Ayo masuk ... di luar dingin.”
Tiba-tiba Laluna merasa tidak nyaman. Dia memindai halaman yang hanya diterangi lampu teras, juga halaman sekolah di bawah sana. Tidak ada seorang pun. Dewi belum pulang dari rumah Nur, anak itu malah ada di sini. Rumahnya tiga kilometer arah menurun dari sekolah—yang bayangan gedungnya kelihatan jelas dari jendela Laluna.
“Bu Luna ... aku tidak mau kawin!”
Hati Laluna serasa dikoyak-koyak pisau tajam, menguarkan rasa sesak di dada dan hidunganya. Matanya memanas. Nur bangkit dari jongkoknya dan menjangkau tepi jendela.
“Nur masuk ya? Di luar dingin. Bu Luna bukakan pintu ...”
“Tidak bu. Aku di sini saja. Nanti kalau bapak tahu, Bu Luna bisa dimarahi bapak. Aku mau sekolah bu, aku tidak mau kawin.”
Luna menggenngam tangan mungil Nur di hadapannya. Dingin.
“Nur ... Bu Luna tahu ....”