Lammatul Malakh

Raz Aka Yagit
Chapter #2

Bisikan

Aku duduk mengangkang lebar-lebar, bagaikan pesumo Jepang profesional yang sedang mengupayakan kemenangan. Menarik napas panjang, meminta si kuning nakal yang lama bertapa di dalam usus perut agar cepat keluar. Sudah tiga hari ini ia mendem, berkhalwat menentang kodrat, enggan memancar dari lubang anus yang Tuhan buat. Biasanya lancar-lancar saja, tiap pagi selesai salat Subuh berjamaah di musala aku pasti sudah buang hajat. Kali ini saja kok agak terlambat. Bukan datang bulan, melainkan buang hajat harian. 

Tak mungkin aku datang bulan, karena aku lelaki tulen. Tapi datang bulan mungkin rasanya melilit seperti ini. Aku sudah kerap kali menyaksikan wajah tersiksa Kak Rahmi, salah satu ustazah dan alumni senior kami tiap kali beliau kedatangan bulan. Mengajar pun rasanya beliau enggan. Pasti rasanya menyakitkan begini. Beliau biasanya akan menyentuh perut, sambil meringis dengan wajah kisut. Sama seperti aku sekarang di dalam bilik. Mengusap perut tak ada gunanya. Apa perlu aku dibantu racikan jamu seperti Kak Rahmi untuk meredakan sakitnya?

Makan apa aku kemarin-kemarin? Aku sendiri tak ingat apa saja yang sudah aku bantas (lahap) beberapa hari ke belakang, tahunya cuma makan dan kenyang. Kukira hanya soal pelajaran dan hapalan saja ingatanku lemah, ternyata mengingat riwayat hidup sendiri saja aku sebego ini.

Sekuat tenaga aku mengejan, duduk lama di alam toilet membuatku mulai bosan. 

"Kamu berak apa lagi melahirkan, Dzik?" tegur suara dari bilik sebelah. Sedari tadi tanpa kusadari bilik di sebelahku ternyata sudah diisi orang. Aku kenal dari suaranya. Dia Sahid Zamani, bocah asli Martapura, ia dari desa Tungkaran. Teman satu asramaku di ponpes ini.

Aku sampai lupa memperkenalkan nama diri. Namaku Dzikrullah, dipanggil Dzikri. Namaku bermakna sederhana, yakni zikir atau mengingat Allah. Itu karena selama 9 bulan kurang 12 hari Ibuku senantiasa melazimkan zikir sebagai nazarnya. Penting kiranya dikelahiran Ibuku yang ketiga kalinya beliau mengikrarkan sebuah nazar. Pasalnya pada dua kelahiran pertamanya, Ibu selalu mengalami keguguran di last minute. Ini lebih sial ketimbang Infertilitas, sebab Ibu dipaksa mengandung berbulan-bulan janin yang tak pernah bisa ia lahirkan. Kata bidan kampung hal itu sudah urat keturunan. Sesuatu yang diwariskan.

Kelainan atau kutukan langka macam apa yang diidap Ibuku? Warisan pula.

Jadi, pada kelahiran yang ketiga kalinya, dengan amalan zikir sebagai sandaran terakhir, Ibu dan seluruh keluarga berharap bahwa nazar serta berkat zikir yang tak putus-putus, aku dengan selamat dapat dilahirkan. Alhamdulillah, syukur kepada Allah sang pemberi banyak nikmat dan rahmat. Tuhan mengabulkan hajat Ibuku. Itulah sejarah bagaimana aku mendapatkan namaku.

"Dari tadi kudengar kamu terus mengejan, apa sebesar itu barangnya?" tanya Sahid.

"Tak mau keluar Id, sudah tiga hari aku menahan mules, perut kaya dikocok dari dalam."

"Memangnya kamu makan apa kemarin? Sampai sakit perut begitu," tanya Sahid yang anaknya memang sopan namun kadang-kadang juga bisa gendeng dalam pergaulan.

"Itu yang aku lupa Id, banyak yang kumakan."

Sahid terdiam sejenak. Membuat jeda senyap yang membuatku berpikir apakah dia masih ada di sana atau tidak. Kupikir ia sudah menamatkan buang hajatnya yang lancar jaya. Rupanya sayup-sayup kudengar ia bicara dalam biliknya. Aku rasa dia tidak sedang mengajakku bicara, karena ia hanya bergumam dengan bisikan halus yang tak dapat kudengar dengan jelas.

Si Sahid ngobrol sama siapa? Heranku menggelayut. Bocah itu seolah sedang melakukan komunikasi dua arah dari dalam biliknya. Aku mengernyitkan dahi dan kening, aku juga ingat waktu itu lumayan merinding. Kucoba mendekatkan kepala sedikit ke arah sisi pembatas bilik untuk sekedar mendengarkan apa yang Sahid ucapkan.

"Id? Kamu masih di sana? Dah selesai buang hajatnya?" tanyaku.

Lihat selengkapnya