Lammatul Malakh

Raz Aka Yagit
Chapter #3

Gampiran

Hari demi hari, minggu berganti minggu, bulan menyusul bulan, keherananku akan kemistisan jawaban yang kudapatkan dalam jamban bertambah semakin parah tak tertahankan. Sudah genap tiga setengah bulan sejak berak bersama itu. Keanehan si Sahid terus saja mengusik rasa penasaranku. Aku tak pernah menemukan jawaban, bagaimana seorang Sahid bisa tahu eksistensi Kijing yang aku sembunyikan. Seolah anak itu memiliki gampiran sebagai informan.

Dalam bahasa Banjar, gampiran itu sebutan untuk khodam. Teman atau penunggu dari makhluk yang berbeda alam, sebangsa Jin dan Setan. Baru sekarang aku menyadari, dugaanku kala itu begitu rendahan. Apa yang ada di sekitar Sahid bukan sembarang khodam. Di sisinya ada dimensi yang jauh lebih tinggi, tak dapat dimengerti, dan beresonansi dengan spektrum ilahi.

Tentu saja semua itu baru aku pahami saat ini, ketika sudah menjadi dosen di prodi SAA Fakultas Ushuludin dan Humaniora di universitas Islam terkemuka di Kalimantan Selatan.

Waktu itu, di setiap ada kesempatan aku terus bertanya pada Sahid. Bagaimana dia bisa tahu mengenai Kijing itu. Siapa yang sudah memberitahunya. Namun hanya senyum polos dan seringai manis Sahid yang kerap aku dapatkan alih-alih jawaban. 

Sesekali, jawabannya terlalu diplomatis. 'Ada yang memberitahuku Dzik', 'Ada yang mengajariku Dzik', 'Ada yang membisikkanku Dzik'. Hanya jawaban-jawaban singkat itu yang aku dapat, seberapa sering pun Sahid aku kulik dan tanyai.

Kedua teman akrabku di pondok yakni si Tamami dan Duncal saja sampai bertanya, belakangan ini ada urusan apa aku dengan si Sahid. Sosok yang mereka kenal sebagai bocah ramping, berkulit agak hitam kecoklatan, punya tompel kecil mirip peta negara Jepang di leher sebelah kanan, dan senang memakai kopiah hitam yang itu-itu saja sampai kusam.

"Ada urusan apa sih, sama Sahid?" tanya Duncal.

"Iya, biasanya kamu tak sedekat itu dengannya. Pasti pengen nembak buntut dibantu sama si Sahid ya?" tanya Tamami agak kurang ajar.

"Hush, ngawur! Buntut itu judi Mi, kita kan santri." Jawabku kesal, kok bisa-bisanya tuduhan tak berdasar itu keluar dari mulutnya si Tamami.

"Ya kali aja. Soalnya kamu deketin si Sahid kayak ada maunya." 

"Kamu pasti sudah mendengar rumor itu kan Dzik?" tanya Duncal.

"Kalian ngomong apa sih? Aku ngga ngerti loh. Rumor, rumor, buntut. Apaan sih?"

"Halah, kamu juga pasti udah dengar, yang katanya Sahid bikin orang jadi jutawan karena buntut." Jawab Tamami. "Dia hampir aja dikeluarkan dari ponpes ini kemarin karena itu."

"Betul. Sahid kan pernah ngasih nomor buntut ke Amang Juhri, tembus empat angka lagi." Duncal ikut-ikutan menimpali. 

Kedua temanku itu akhirnya mengetahui dari ekspresi bingungku, kalau aku sungguh-sungguh belum mendengar kabar mengenai itu. Ternyata aku lumayan kurang up to date kabar-kabar terbaru yang beredar di pondok pesantren. Dua temanku malah jauh lebih tahu.

Jadi cerita yang akhirnya kudengar dari kedua temanku itu, katanya Amang Juhri ini terlilit utang piutang senilai sepuluh juta. Di masa itu, nominal segitu terbilang besar. Amang Juhri lalu ditinggal pergi anak dan istri ke kota Barabai. Tinggallah ia di rumah sendirian. 

Konon kabarnya, berita kemalangan rumah tangga Amang Juhri sampai ke telinga si Sahid. Karena Sahid memang biasa keluar masuk pondok dan dikenal mudah mengakrabkan diri dengan warga sekitar pondok. Singkat cerita, Sahid memberikan solusi radikal masalah keuangan kepada Amang Juhri. Ya melalui buntut tadi.

Pihak pondok pesantren yang mendengar hal tersebut menjadi marah. Bisa-bisanya seorang santri madrasah ibtidayah turut serta dalam perjudian. Meski yang keluar uang bukan si Sahid dan yang merasakan enaknya juga bukan dia. Tapi keikutsertaannya memakaikan jubah kekayaan pada Amang Juhri telah menimbulkan masalah dan kegaduhan, terutama di kalangan warga. Si Sahid kontan menjadi sosok paling diincar untuk ditanyai kabarnya. Di kampung sekitaran pondok, Sahid jauh lebih populer melebihi sang raja dangdut Haji Rhoma Irama.

Lihat selengkapnya