Perbatasan Tawau, Desember 2000
(Dalam Truk Bak Pengangkut Bibit Pohon Sawit)
“Saya Tobur !, silakan minum untuk melepas dahaga”, Seorang pemuda dengan logat melayu mengulurkan tangannya kepada Din. Berusaha menyalaminya dengan dua kawan yang lain, Hadi (19) dan Sul (21). Teman temannya tentu saja menyambutnya dengan baik, apalagi terlampau kering tenggorokan mereka karena seharian belum menemukan air.
Sebenarnya Din dan teman temannya sudah hampir dua minggu tersesat di hutan, dengan berbekal parang dan golok yang di bawa dari perkebunan sebelumnya, mereka nekat menyusuri hutan kalimantan hanya untuk terbebas dari kelompok Bunyani.
Dalam pikiran Din, nampaknya Tobur adalah warga setempat yang tengah membuka lahan di hutan ini. Mungkin saja dengan bantuannya bisa mengantarkan mereka sampai ke kampung terdekat. Dia menjaga parang tidak jauh dari jangkauannya. Ia terus melihat ke sekeliling memastikan dia bukan antek Bunyani, atau mungkin dia orang yang bisa mencelakai mereka nantinya
Tobur sepertinya tahu dengan kondisi mereka, hanya saja dia tidak memaksa mereka untuk bercerita. Din bisa merasakan bola matanya terus mengawasi dirinya sejak awal pertemuan meraka, entah itu isyarat curiga atau mungkin rasa iba. Bayangkan saja, selama pelarian bekal yang mereka bawa dari camp hanya cukup untuk makan beberapa hari saja. Din dan kawan-kawannya sangat berhati-hati agar tidak meninggalkan jejak selama pelariannya. Ketika malam mereka tidur di pohon untuk menghindari hewan liar, bahkan membuat api pun mereka jaga agar tidak terlalu besar supaya tidak kentara dari kejauhan. Sebenarnya mereka sudah beberapa kali menemukan camp serupa namun langkah mereka urung setelah mengetahui Bunyani memiliki mata-mata di beberapa camp perkebunan disana.
***