Seakan tidak pernah belajar dari kesalahannya, sang adik terhempas jatuh di sebuah gang dekat sekolah sambil ketakutan oleh mata-mata kejam mengarah kepadanya. Anak-anak jahat itu tidak henti-hentinya berusaha merundung dia seakan-akan dia adalah boneka beruang yang tidak bisa berbuat apa-apa meskipun dikasari berkali-kali.
“Kau mau lari kemana, hah?” kata salah satu anak berbadan kurus dengan nada mengancam.
“Kau akan membayar atas apa yang kakakmu itu perbuat kepada kami kemarin.” kata anak kedua yang memiliki badan besar. Tampaknya dia adalah pimpinan mereka.
“Untung saja dia tidak bersama kakaknya hari ini jadinya kita bisa bebas menghabisi adiknya yang lemah ini.” Kata anak ketiga dengan tampang dekilnya.
“Ka, Kalian kan cuma punya urusan sama kakakku kenapa kalian malah melampiaskannya kepadaku?” kata si adik dengan suara gemetar ketakutan sambil sok melawan.
“Halah, anak sepertimu tahu apa sih? Karena kau itu lemah dan pengecut! Kau gak akan melawan kalau kami apa-apakan kau karena itulah kami mengincarmu.” Kata si anak berbadan besar
“Mendingan kau diam saja!” kata si dekil sambal menarik kerah baju si adik.
Tangannya tidak bisa berhenti bergetar. Dia harus menghadapi mereka, begitulah dipikirnya. Dia tidak ingin kakaknya datang untuk menyelamatkannya, dia harus membuktikan bahwa dia tidak butuh bantuan kakaknya, begitulah pikirnya. Tapi begitupun, dia sama sekali tidak bisa bergerak.
Anak-anak itupun mulai menghajarnya tanpa perlawanan. Salah satu anak menarik rambur keritingnya agar yang lain bisa lebih mudah memukulnya. Tendangan, pukulan serta caci maki diterimanya secara mentah-mentah sampai mengotori seragam SMAnya dengan darah.
Dibalik keasyikan anak-anak itu menghajar dengan membabi buta, tiba-tiba muncul sebuah pukulan melayang kepada si anak berbadan kurus. Belum sempat memproses apa yang terjadi, si anak berbadan besar mendapatkan pukulan kedua dan berlanjut keanak bertampang dekil. Mereka kemudian harus dihadapkan dengan sang kakak yang datang menolong sang adik. Merekapun mencoba membalas serangan dari perempuan itu. Tapi usaha mereka sia-sia, mereka tetap kalah tak peduli bagaimana mereka melawan. Setelah perlawanan yang sia-sia tiga orang itu lari terbirit-birit meninggalkan kakak beradik itu. Mungkin memang bodoh melawan anak kelas 3 SMA yang menguasai Tae Kwon Do.
“Kamu gak apa-apa?” tanya sang kakak prihatin dengan keadaan si adik. “Kamu harusnya lari saat bertemu mereka jangan langsung mencoba untuk melawan mereka.”
“Aku sudah lari, tapi mereka berhasil menangkapku.”
“Masa? Karena kelihatannya kamu berusaha sok jago dan melawan mereka secara ceroboh.”
“Tidak usah mencoba menghiburku, kau tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi.”
Sambil tersenyum kecil sang kakak mengulurkan tangannya untuk membantu adik kesayangannya itu.
“Aku bisa berdiri sendiri.”
“Aku cuma ingin membantu.”
“Kau sudah terlalu sering membantuku!” bentak adiknya sambil menyingkirkan tangan kakaknya.
“Hei kenapa kamu tiba-tiba marah?”
“Bisa tidak jangan libatkan aku dengan masalah yang kau bikin? Setiap kali kau berulah selalu saja aku yang kena imbasnya!”
“Yahh, aku tidak pernah membuat masalah, karena bukan aku yang selalu dijahili oleh orang-orang itu.”
“Itu termasuk masalah! Kenapa kau harus datang menyelamatkanku disaat seperti itu? Aku sudah muak!”
“Aku cuma berusaha melindungimu. Tidak mungkin aku diam saja melihat adikku dijahili orang lain kan?”