Landak yang Tenggelam

Arief Pramudya
Chapter #3

Masa-Masa Kelam

Hari-hari berlalu tanpa satupun kejadian menarik terjadi, si adik menemukan dirinya terus-terusan memandang langit mendung di malam itu. Dia terus memandang dari balkon lantai dua rumahnya. Pandangan itu aneh, kosong dan mati layaknya ikan yang tergeletak di meja pasar tradisional. Jika ada orang yang melihat pandangannya orang-orang pasti akan berpikir bahwa dia adalah orang aneh atau habis memakai obat-obatan. Tapi entah kenapa pandangan itu juga tampak lembut, dan manis, seakan-akan dia sedang membayangkan suatu kenangan indah, mungkin dia mengingat saat mendapatkan mainan pertamanya saat masih kecil, atau mungkin dia baru saja mendapatkan sesuatu yang sangat berharga. Tapi dilihat bagaimanapun tidak salah lagi haya ada satu hal yang bisa menjelaskan pandangannya tersebut. Sesuatu yang hanya akan disadari oleh orang-orang yang pernah mengalaminya. Dia merindukan seseorang.

Pagi itu dia berangkat sekolah seperti biasanya. Hanya pagi yang biasa dilalui tanpa ada sesuatu yang istimewa menunggu untuk terjadi. Perjalanan dengan angkutan umum yang biasanya dia lakukanpun entah kenapa terasa sangat lama. Entah mobil itu yang bergerak terlalu pelan atau waktu disekitarnya yang berjalan lambat.

Sudah setahun semenjak kakaknya pergi kuliah di kota lain. Saat ini dia duduk di bangku kelas 2 SMA. Dan semenjak itulah dia merasa kehilangan sesuatu yang berharga. Kali ini dia benar-benar merasa sendirian. Tapi dia sudah berjanji bahwa dia akan baik-baik saja kepada kakaknya. Sekarang dia merasa bahwa sebaiknya dia tidak membuat janji seperti itu. Entah apa sebenarnya yang diinginkannya, dia sendiripun tidak tahu.

Seperti biasa, tidak ada yang menarik terjadi disekolahnya. Lagi-lagi pelajaran matematika, bidang yang sangat dia tidak kuasai dan menurutnya mempelajarinyapun hanya membuang-buang waktu dan energi. Kecuali dia memutuskan untuk menjadi astronot atau ilmuwan di masa depan mungkin matematika akan berguna, hanya saja dia tidak seambisius ataupun sepintar itu untuk menggapainya.

Jam menunjukkan waktu istirahat, dia hanya pergi ke kantin sejenak untuk membeli roti dan langsung kembali ke kelas. Diapun sadar akan bisik-bisik teman-teman sekelasnya tentang dirinya yang selalu tampak murung sendirian. Dia sadar tentang betapa banyaknya sorot mata beragam yang memandanginya, dari pandangan merendahkan, jijik, sampai kasihan. Adapula beberapa cewek yang memandangnya dengan tatapan kagum dikarenakan wajahnya yang cukup menarik. Dia sadar bahwa wajahnya cukup menarik untuk kebanyakan orang. Tapi pribadi, dia tidak tahu apa yang membuat wajahnya spesial. Jadi dia selalu mengabaikan pandangan-pandangan itu.

Satu hal yang selalu mengganggunya, dia selalu khawatir akan dibully lagi suatu saat. Jika saja itu terjadi, tidak ada yang akan menyelamatkan dia. Tidak ada lagi sosok heroik sang kakak yang akan melompat muncul untuk menyelamatkannya seperti dulu-dulu. Tapi sepertinya, mereka tidak akan mengganggunya untuk saat ini, karena mereka mendapatkan ancaman keras dari kakaknya sesaat sebelum kakaknya lulus. Dia tidak pernah menjadi sosok yang benar-benar bisa membela diri sendiri. Bagaimana bisa, disaat dia tinggal bersama seorang ibu yang kerjaannya Cuma meratapi diri sendiri sehabis diselingkuhi suaminya sendiri. Dia tidak pernah repot-repot memikirkan masa depannya karena dia sendiri tidak yakin dia bakalan bisa mempunyai masa depan yang membanggakan. Buat apa repot-repot memikirkan sesuatu yang tidak meyakinkan, begitulah pikirnya.

Di sela-sela lamunannya itu dia mendengar suara seseorang.

“Hey.”

Dia mengangkat wajahnya atas respon dari panggilan itu. Itu Sina, cewek paling cantik dikelasnya. Banyak cowok-cowok disekitarnya yang mengejar-ngejar Sina ibarat sebuah item langka dalam sebuah video game. Bahkan tidak banyak dari mereka yang rela melakukan apapun, hal bodoh sekalipun, hanya agar Sina bisa melihat mereka. Dia adalah tuan putri disekolah ini, tidak diragukan lagi. Tapi dibalik pesona tuan putri yang dimilikinya itu dia tidak pernah sekalipun merendahkan orang lain, atau memanfaatkan popularitasnya untuk memanfaatkan orang lain. Dia selalu saja menebar senyum ramah kepada siapapun, kepada guru, kepada semua orang, bahkan kepada dia sekalipun. Bahkan ini bukan pertama kalinya Sina mendekatinya.Sina sudah beberapa kali mencoba untuk berbicara dengannya tapi hanya disambut dengan sikap cuek darinya. Dibalik sikap baik dan ramah yang diberikan Sina, dia sebenarnya menganggap Sina adalah penipu terbesar yang pernah dia jumpai.

“Hey” Balasnya dengan cuek

“Kau sedang apa?”

“Makan.”

“Cuek banget sih?”

“Emangnya aku harus bilang apa supaya enggak cuek?”

“Entahlah, mungkin kamu bisa bilang ‘enggak ngapa-ngapain kok, aku sedang makan roti sendirian mau gak temani aku?’”

“Emangnya aku salah satu fansmu apa?”

Lihat selengkapnya