Sina selalu datang menghampirinya semenjak saat itu. Sina selalu memancing dia agar mau mengobrol dengan dia. Sina tahu butuh usaha yang berat untuk bisa meluluhkannya. Tapi Sina tidak pernah menyerah dan melakukan apapun untuk memancingnya berbicara. Tanpa kenal waktu. Tanpa kenal tempat. Sina bakal mendatanginya saat jam istirahat, mencegatnya saat pulang sekolah, pura-pura bertemu secara kebetulan saat pergi ke sekolah, menunggunya didepan toilet, dan membuntutinya kemanapun dia pergi. Tidak ada yang bisa lolos dari Sina, begitulah pikir Sina. Dan dibalik semua usahanya untuk menyingkirkan Sina, dia tahu bahwa semuanya sia-sia saja. “Sina itu seperti hama yang sulit dibasmi.” Begitulah pikirnya.
Hari itu adalah hari minggu yang cerah. Dia memutuskan untuk pergi jalan-jalan ke mall yang berlokasi di tengah kota. Dia tidak punya motor ataupun sepeda yang bisa membawanya ke tempat tujuannya dengan cepat, maka diapun hanya menggunakan kakinya yang kurus itu buat ketempat tujuannya. Toh mall itu tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Dia tidak berencana untuk membeli apapun, dia hanya ingin sekedar menghabiskan waktu sambil memperhatikan orang-orang yang ramai berlalu-lalang disana. Bagaikan sebuah petir yang menyambar di hari yang cerah, dia melihat seekor hama sedang berjalan didepannya. Dia hanya memakai pakaian simple berupa kaos putih dan celana skinny jeans ketat yang mempertunjukkan bentuk pinggulnya. Pinggul itu memang tampak indah, jadi tidak heran jika dia ingin menunjukkan bentuknya. Khawatir akan terjerat masalah, dia memutuskan untuk berbalik dan mengambil jalan memutar agar tidak menjalin kontak dengan dia.
Langkahnya terhenti oleh sebuah toko yang mencuri perhatiannya. Sebuah kamera keluaran terbaru yang dipajang di pintu depan toko itu tampak sangat menggoda baginya. Dia tidak pernah menyentuh sebuah kamera seumur hidupnya. Pun dia tidak pernah berpikir buat tertarik untuk mengambil gambar sebelumnya. Akan tetapi, entah kenapa kali ini berbeda. Matanya tidak bisa lepas dari kamera itu. Pun kamera itu seakan menatap balik matanya. Seakan-akan momen itu adalah sebuah adegan film romantis norak dimana pria dan wanita saling dipertemukan oleh takdir. Dia melihat tulisasn harga tepat disamping kamera itu.
“Rp.8.000.000”
Harga itu cukup mahal buat uang jajannya yang hanya sebesar Rp.500.000/bulan. Tapi dia memiliki sejumlah tabungan, yang jumlahnya tidak begitu jauh dari harga kamera itu. Jika dia menabung sedikit lagi dia pasti bisa membeli kamera itu.
Seketika memecah momen indah itu, telinga kirinya menangkap sebuah suara mengganggu yang segera menghancurkan momen itu.
“Kamu suka kamera?”
Suara itu membuatnya hampir terlompat kaget. Itu Sina. Maksudnya si hama.
“Astaga kau mengejutkanku.”
“Hahaha, maaf. Apa yang kamu lakukan?”
“Tidak ada.”
“Kamu ingin membeli kamera?”
“Tidak, aku hanya melihat-lihat saja.” Dia tidak merasa perlu untuk memberi tahu si hama ini tentang hal-hal seperti itu.
“Oohh… emangnya kamu suka ya dengan kamera?”
“Sudah kubilang enggak, aku hanya melihat-lihat saja.”
“Tidak ada salahnya lho, kalau kamu bilang iya.”
(Dasar hama…)
Dia tidak tahu bagaimana menghadapi rasa penasaran cewek ini. Dia selalu saja mencoba ikut campur dengan urusan orang lain.
(Memangnya kenapa kalau aku suka? Kepo banget sih. Memangnya apa yang bisa kau dapatkan dengan kekepoanmu itu?)
Tidak ingin memperdalam percakapan ini, maka dia mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Apa yang kau lakukan disini?”
“Tidak ada. Aku bosan dirumah. Aku mengajak teman-temanku buat nongkrong tapi mereka semua sedang sibuk. Jadinya, aku pergi jalan-jalan sendiri hehehe.”
(Jangan sok centil deh)
“Emangnya gak apa-apa cewek pergi jalan-jalan sendirian?”
“Hmm… kenapa? Kamu mencemaskan aku?”
“Enggak juga. Cuma, tidak biasanya aku melihat cewek jalan-jalan sendirian.”
“Menurutku tidak ada salahnya kalau cewek jalan-jalan sendirian. Lagipula, aku yakin aku bisa menjaga diriku sendiri.”
Mendengar itu, dia merasa mendengar sesuatu yang familiar baginya. Benar, itu adalah kata-kata yang bakal diucapkan kakaknya di situasi seperti ini. Mungkin cuma perasaannya, tapi dia merasakan suatu kemiripan antara Sina dengan kakaknya.
“Oohh… begitu.”
“Hey, kalau kamu mencemaskanku gimana kalau kamu menemaniku jalan-jalan?”
“Sudah kubilang aku enggak mencemaskanmu.”
(Apa dia punya Tinnitus yang parah? Atau dia cuma tidak peduli dengan yang aku katakan?)
“Ayolaahh… aku mulai bosan jalan-jalan sendirian… lagipula kau juga sedang tidak ada kerjaan kan? Ayolahh…”
Dia menghela nafas, dia sebenarnya sedang tidak punya energi buat meladeni sifat Sina yang selalu membara. Akan tetapi, dia juga tidak punya alasan yang bagus buat menolak ajakannya. Karena dia sering berada didalam situasi seperti ini. Situasi yang membuatnya sama sekali tidak bisa melakukan apapun kecuali menuruti perminntaannya.
(Seperti kakak) begitulah pikirnya.
“Baiklah.” Jawabnya setuju.
“Benarkah? Yess… aku tidak menyangka kamu bakalan mau.”
(Kalau begitu kenapa ngajak, hama)
“Mau kemana kita?”
“Ayo pergi keluar, aku sudah bosan di mall ini.
“Oke.”
Mereka pergi keluar dari mall itu. Sebagian dari dirinya merasa cukup lega karena dia bisa keluar dari mall yang ramai itu. Keramaian adalah satu hal yang tidak cocok untuknya, diapun berpikir buat apa dia datang kesana dari awal? Di sisi lain dia merasa kesal karena tidak bisa bercengkrama lebih lama dengan kamera itu. Oh, dan dia harus menghabiskan waktu bersama Sina.
“Hey, gimana kalau kita makan es krim? Kamu mau kan?”