Mereka telah sampai di restoran Cina yang direkomendasikan oleh Sina. Seperti yang dikatakan Sina, tempat itu cukup nyaman buat tempat mengobrol. Dia sebenarnya tidak begitu tahu apa yang membuat sebuah restoran menjadi nyaman, karena dia cukup jarang datang ke restoran seperti ini. Selama ini dia mengasosiasikan tempat seperti ini sebagai tempat yang selalu sesak oleh manusia. Penuh dengan napas-napas berbau omong kosong seperti, gosip-gosip rumah tangga, curhatan-curhatan tidak jelas, sampai obrolan bisnis yang sok professional. Karena itulah dia selalu menghindari tempat seperti ini. Akan tetapi, dia merasa tempat ini cukup nyaman. Tidak terlalu ramai, dan suasana restoran yang cukup sederhana namun sedikit mewah membuat tempat ini cukup nyaman.
Pelayan datang menyerahkan menu kepada mereka.
“Kamu mau pesan apa?”
“Aku pesan kopi hitam saja.”
“Kalau begitu, aku juga sama”
Pelayan itu menuliskan pesanan mereka, meminta mereka untuk menunggu sebentar dan segera meninggalkan mereka.
“Jadi, apa pekerjaanmu saat ini?” Kata Sina memulai percakapan.
“Aku seorang fotografer freelance.”
“Oh… kamu masih suka berfoto?”
“Iya, mengejutkan bukan?” katanya dengan nada mengejek.
“Terus, foto macam apa yang biasanya kamu ambil?”
“Yahh… gak begitu spesial sih. Aku biasanya mengambil foto kehidupan sehari-hari, seperti pegawai kantoran yang pergi bekerja, anak-anak bermain di taman, kemacetan di tengah kota, supir angkot yang berkendara mencari penumpang, dan sebagainya. Tapi terkadang aku juga suka mengambil gambar-gambar pemandangan. Seperti gambar langit, bunga, dan sebagainya.”
“Wahh… aku tidak menyangka hobimu dulu bisa jadi pekerjaan.”
“Yah, apapun bisa terjadi kan?”
“Memang benar, hanya saja aku tidak menyangka kamu bisa melakukannya.”
Dia sedikit tersinggung, tapi dia tidak menggubrisnya. Mungkin Sina hanya mencoba untuk sedikit bercanda.
“Jadi apa yang membuatmu tertarik mengambil gambar orang-orang?” tanya Sina
“Entahlah, aku tidak terlalu bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Hanya saja, ada sesuatu yang menarik dari kehidupan orang-orang. Seperti, semua orang selalu bergerak, orang-orang yang kita temui dijalanan ataupun orang-orang yang ada direstoran ini. Mereka punya urusan mereka sendiri, mereka hanya kebetulan berpapasan dengan kita, kebetulan berada di tempat yang sama dengan kita seakan-akan mereka punya tujuan yang sama dengan kita. Tapi kenyataannya mereka punya tujuan mereka sendiri-sendiri. Mereka hanya kebetulan melewati jalan yang sama dengan kita untuk mencapai tujuan mereka sendiri. Dan, menurutku sangat menarik buatku jika aku bisa mengabadikan kegiatan mereka untuk mencapai tujuan tersebut.” Jelasnya.
“Hoh, itu sesuatu yang tidak biasa. Maksudku, orang-orang biasanya tidak pernah memikirkan hal-hal seperti itu kan? Mereka hanya berfokus menyelesaikan urusan mereka, itu saja.”
“Memang benar. Mungkin itulah yang membuatnya menarik. Rasanya cukup spesial jika aku sendiri yang bisa melihatnya. Entahlah, sulit untuk kujelaskan”
“Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa ya orang-orang jarang memikirkan hal seperti itu? Maksudku, manusia hidup dengan selalu berhubungan dengan orang lain, dan kita bisa dengan mudah menjalin hubungan dengan orang-orang yang kebetulan berpapasan dengan kita. Seakan pada akhirnya, kita hanya akan bertindak egois dan memikirkan diri sendiri. Jika manusia butuh untuk berhubungan dengan orang lain, harusnya semua orang bisa melakukan apa yang kamu lakukan. Gimana menurutmu?” kata Sina penasaran.
Pertanyaan Sina terlalu mendadak. Dia mengira Sina bakalan menghindari topik seperti ini. Mungkin kita memang tidak boleh menilai buku dari sampulnya.
“Hmm… teorimu cukup menarik aku bahkan tidak pernah memikirkan tentang itu.” Jawabnya.
(Kenapa ya aku tidak pernah memikirkannya?)
“Benarkah? Kau melakukan itu semua tanpa pernah memikirkan kenapa kau melakukannya?”
“I, iya…” jawabnya dengan gugup.
“Kau memang unik.”
(Benar, kenapa aku tidak pernah memikirkannya?)
“Hmm… kamu tahu apa sebutan untuk orang sepertimu?”
“Apa?”
“Stalker.”
“Apaan sih, aku bukan stalker.”
“Hahaha, kriteriamu cocok lho. Suka memperhatikan kehidupan orang lain adalah apa yang selalu dilakukan oleh stalker.”
“Itu tidak masuk akal”
“Ahaha, tapi kamu tidak melakukan hal-hal ekstrim seperti menncoba mengambil gambar cewek yang sedang mandi kan?”
“Mana mungkin! Aku bukan orang seperti itu.”
“Hey, mungkin saja kan? Kau tertarik dengan bagaimana proses cewek yang sedang mandi. Seperti bagaimana dia menyabuni badannya, shampo apa yang dipakainya, apa warna handuk yang dipakainya.”
“Haha, itu terlalu bodoh buat jadi kenyataan.” Jawabnya dengan dingin.
“Ahahaha.”
Sina tampak cukup puas tertawa karena berhasil menjahilinya. Seperti dulu. Tapi ada sesuatu yang berbeda dengan tawanya saat ini. Ada sebuah kehangatan dari tertawanya Sina. Seakan, tampak sebagai tawa yang murni, tidak seperti tawanya saat SMA dulu.
Pelayan yang sebelumnya memotong pembicaraan mereka dan mengantarkan dua kopi hitam yang mereka pesan.
“Ah, terima kasih” Kata Sina