Landak yang Tenggelam

Arief Pramudya
Chapter #9

Hutang

Sebulan sudah berlalu setelah pertemuannya dengan Sina. Dia sama sekali tidak pernah terpikirkan tentang perjumpaannya dengan Sina saat itu. Bahkan mungkin dia sudah lupa sama sekali dengan pertemuan itu. Tidak ada pesan sama sekali dari mereka berdua. Mungkin itu memang cuma sekali pertemuan saja.

Pekerjaannya sebagai fotografer benar-benar membuahkan hasil buatnya. Banyak orang yang tertarik dengan hasil potretannya dan tawaran job terus-terusan datang kepadanya. Mereka mengatakan bahwa dia memiliki mata gaib layaknya seorang iblis. Yang bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat orang lain. Mereka mengatakan bahwa gambar-gambar yang dihasilkannya mampu mengucapkan hal-hal yang tidak bisa diucapkan manusia keras-keras dan mempunyai multi-arti. Seperti gambar seorang tukang becak yang berjongkok disamping becaknya sambil memberi makan sekumpulan anak kucing. Atau seorang pegawai kantoran yang menengadah keatas sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya sambil mengutuk pekerjaannya. Atau gambar jalanan yang penuh dengan kendaraan lalu-lalang sementara para pegawai kaki lima berjualan di pinggir jalan. Apa arti dari gambar-gambar itu? Kenapa dia mengambil gambar-gambar itu? Sekilas tu hanyalah gambar-gambar paling biasa yang pernah ada, tapi entah kenapa gambar-gambar itu seperti mengatakan sesuatu. Itulah yang muncul di benak orang-orang yang melihat gambarnya, sang pemilik mata gaib yang misterius itu. Tapi tidak peduli bagaimana orang-orang memuji-muji gambarnya, tidak peduli bagaimana cara dia mengambil gambar-gambar tersebut. Diapun selalu menemukan dirinya mempertanyakan hal yang sama dengan orang-orang itu.

Saat itu dia sedang berada di rumah kakaknya, kakaknya dan suaminya mengundangnya makan malam kerumah mereka untuk merayakan suksesnya karir si adik. Sekilas makan malam itu terasa sangat membosankan, cuma ada percakapan-percakapan akrab tanpa ada sesuatupun yang menarik terjadi. Makan malam itu hampir terasa seperti perjamuan makan malam sebuah kerajaan, terlalu banyak tata krama yang perlu diperhatikan. Dia sungguh tidak terbiasa dengan semua kesopanan dan keramahan itu, apalagi semua itu diberikan oleh kakaknya yang dulunya terkenal tomboy dan kasar. Begitupun, dia cukup menikmati makan malam itu. Seberapa membosankan tampaknya, tak ada yang bisa mengalahkan saat-saat bersama orang-orang yang mempedulikanmu.

Anak bayi itu bermain-main di pangkuannya, seakan bayi itu merasa bahwa dia adalah orang paling baik sedunia, anak itu selalu saja mendekati dia dengan rasa penasaran untuk mengajak bermain atau sesuatu. Anak itu cukup manis dia akui, tapi dia selalu canggung dalam menghadapi anak kecil.

HP-nya berbunyi menandakan telepon masuk. Tertulis “Sina” di layar HP itu, orang terakhir yang diharapkannya bakal meneleponnya. Dia tidak mau percakapan apapun itu dengan Sina terdengar oleh kakaknya ataupun suaminya, maka dia keluar kedepan rumah untuk menerima telepon itu.

“Halo?” katanya menjawab telepon.

“Halo, hai apa kabar?”

“Ada apa kau meneleponku? Tanyanya balik dengan nada ketus Sina.

“Tidak ada, aku hanya sedang senggang saat ini dan aku bermaksud buat mengajakmu ke café buat minum segelas kopi. Apa kamu bisa?”

“Apa kau gak punya orang lain buat diajak?”

“Bukannya gak ada sih… tapi aku cuma ingin pergi bersamamu, gimana mau gak?”

Tak ada angin tak ada hujan, dia tiba-tiba teringat akan masa lalunya, masa-masa SMA-nya saat Sina pernah menipunya dan berlanjut untuk terus membullynya sampai mereka lulus sekolah bersama dengan anak-anak berandal itu, kelompok SIna yang sebenarnya. Dan kenangan itu membuatnya malas buat bertemu dengan Sina.

“Maaf, aku tidak bisa. Aku sedang ada urusan.” Katanya.

“Yahh, urusan apa sih?” tanya Sina

(Urusan ya urusan, gak penting buat kau tahu)

“Hmm… aku sedang ada diluar kota karena urusan pekerjaan, mungkin aku baru akan kembali dalam tiga hari.”

“Mungkin?” tanya Sina curiga.

“Iya, mungkin, soalnya ada hal-hal yang harus kuurus perihal pekerjaanku dan aku tidak bisa memastikan sampai kapan selesainya, tapi menurt prediksiku akan selesai dalam tiga hari.”

“Oh…”

Jeda sejenak.

“Oke, sayang sekali kamu gak bisa, padahal ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Kata Sina

“Ada yang mau kaubicarakan?” tanyanya tidak mengerti.

“Iya ada. Tapi itu bisa menunggu, kita bisa membicarakannya kapan kita bisa bertemu. Bukan sesuatu yang terlalu penting kok.”

“Oh, oke kalau begitu.”

“Oke bye.”

Telepon ditutup oleh Sina.

Keesokan harinya adalah hari yang cukup sibuk buat dia. Permintaan klien yang banyak membuatnya cukup keewalahan. Ditambah lagi tawaran buat memajang foto-fotonya untuk majalah-majalah, bukannya itu hal yang buruk, malah itu sebuah hal yang luar biasa. Akan tetapi dia menolak tawarannya itu dengan alasan gambar-gambar yang diambilnya tidak lebih dari sekedar jepretan asal-asalan yang tidak begitu bernilai. Menurutnya ada banyak karya foto orang lain yang lebih pantas buat dipajang yang bisa mengutarakan makna yang lebih dalam daripada foto-foto yang diambilnya. Itu memang kebenarannya sih, dia sama sekali tidak menganggap foto-foto yang diambilnya itu begitu berharga, dia memang asal-asalan mengambil gambar yang menurutnya menarik. Bukannya dia punya semacam kekuatan supranatural seperti yang banyak orang katakan. Dan menurutnya gambar asal-asalan itu tidak pantas buat dipajang dalam sebuah museum yang merupakan sebuah apresiasi sebuah seni yang sesungguhnya. Maka dia menolak tawaran itu.

Malam itu dia berencana untuk bersantai di apartemennya sendirian. Dia berencana untuk menonton sebuah film yang sudah lama ingin dia tonton sambil meminum secangkir kopi hangat untuk menenangkan dirinya. Dia juga berencana melanjutkan membaca novel yang sedang dibacanya, novel itu tidak terlalu tebal sehingga seharusnya tidak butuh waktu lama untuk dia selesaikan, hanya saja tidak adanya waktu santai membuatnya sulit untuk menyentuh buku itu.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarnya. Dia bangkit buat membuka pintunya sambil sedikit menggerutu. Dia berjalan kedepan pintu dan bertanya, “siapa itu?” kepada orang dibalik pintu.

“Ini Sina.”

Suara itu membuatnya kaget dan terheran-heran. Dia cukup yakin bahwa dia tidak pernah memberi tahu alamat tempat tinggalnya, Sina sendiri juga tidak pernah menanyakan tempat tinggalnya. Bagaimana dia bisa kesini?

“Apa itu betul Sina?” tanyanya memastikan dari balik pintu

“Iya, ini betul SIna. Bisa buka pintunya?”

Dia cukup yakin kalau itu memang suara Sina dan bukan orang lain yang menyamar menjadi Sina. Diapun membuka pintunya.

“Sina, apa yang kamu lakukan disini?” tanyanya.

“Aku cuma datang berkunjung, emangnya gak boleh?” jawab Sina dengan entengnya

“Bagaimana kau bisa tahu alamat tempat tinggalku?”

“Oh, aku bertemu dengan kakakmu tadi siang kami sempat mengobrol basa-basi dan kemudian aku menanyakan dimana kamu tinggal. Karena aku lupa menanyakannya saat kita bertemu di restoran itu.”

(Sembarangan seperti biasanya, kakakku)

“Ohh… terus kau mau ngapain kesini?

“Tidak ada aku cuma ingin bertemu denganmu, karena kita tidak sempat bertemu kemarin… karena kamu punya urusan pekerjaan kan…?” kata Sina dengan nada sinis.

Dia benar-benar lupa dengan kebohongan yang diucapkan olehnya kemarin.

(Kayaknya aku kena karma deh.)

“Oh… iya aku baru saja pulang dari urusanku. Ternyata pekerjaanku selesai lebih ceoat dari yang kukira.” Kata dia mencari-cari alasan.

“Hmm… tapi kata kakakmu kamu sama sekali tidak pergi keluar kota semalam. Malah kamu berada dirumahnya tadi malam kan?”

(Sialan, kakakku)

“Baiklah, aku ngaku aku bohong. Puas?” katanya pasrah.

“Tidak, kamu harus mempertanggungjawabkan kebohonganmu itu.”

“Apa yang kau mau aku lakukan?”

“Aku ingin masuk ke kosmu.”

(Itu dia, kata yang sangat tidak ingin kudengar)

“Baiklah masuklah.” Katanya pasrah. Lagipula tidak ada jalan lain baginya buat kabur, toh dia sudah berbohong.

Sina masuk kekamar kosnya.

“Jadi? Kau mau apa?”

“Tidak ada, aku cuma ingin bertemu denganmu.”

“Kau cukup nekat mendatangiku kesini Cuma karena ingin bertemu.”

“Yah, habisnya kalau tidak begini pasti akan sangat sulit bertemu denganmu.”

Dia terdiam sesaat, dia masih tetap punya mulut yang manis seperti dulu.

“Kamarmu cukup bagus walaupun ukurannya sempit.” Kata Sina menilai kamar kosnya itu.”

“Thanks, dan maaf saja kalau ukurannya sempit.” Jawabnya dengan sinis.

“Tidak masalah kok, setidaknya cukup nyaman buat ditinggali.”

Lihat selengkapnya