Landak yang Tenggelam

Arief Pramudya
Chapter #10

Landak

Hujan bagaikan memandikan perasaan sepi yang menyelimuti kota itu. Seberapa derasnyapun hujan yang turun saat itu, tampaknya tidak akan bisa memandikan kesepian yang ada dikota itu. Malah, seakan membasahi luka bakar yang ada diseluruh tubuh, begitulah pikirnya.

Dia menyeruput secangkir kopi panas sambil duduk di balkon kamarnya kostnya, sambil sesekali berdiri untuk mengambil gambar jalanan yang basah oleh hujan. Tidak ada kehidupan yang tampak di jalanan itu. Hanya ada mobil yang sesekali melintasi jalan itu. Maka, apa alasannya dia mengambil gambar jalanan yang sepi dan menyedihkan itu? Dia tidak peduli, dia hanya ingin mengambil gambar.

Dia mendengar pintu terbuka menandakan ada seseorang yang masuk. Dia sama sekali tidak khawatir karena dia sudah tahu pasti siapa yang masuk tanpa perlu mengetuk pintu. Kakaknya menaruh sekantong plastik berisikan belanjaan diatas meja. “Hei.” Sapa kakaknya melihatnya termenung di balkon.

“Makasih udah belanja buatku.” Katanya.

“Gak apa-apa kok.”

“Kau gak kebasahan kan?”

“Sedikit, sepertinya payung tidak melakukan tugasnya dengan baik.”

“Ohh…”

“Kau sedang apa?”

“Ngopi.”

“Ngopi ditengah sejuknya hujan. Apa kau sambil membayangkan dirimu berada di video musik?”

“Bising.” Katanya agak sebal.

“Hahaha. Boleh aku bergabung?”

“Kau emangnya gak perlu pulang? Anakmu gimana?”

“Kau nyuruh aku pulang hujan-hujan begini? Jahat banget…”

(Umurmu berapa sih sebenarnya?)

“Dia kutitipkan dirumah tetanggaku. Mereka punya anak yang seumuran dengan anakku. Dan mereka sangat senang bermain bersama.”

“Oh yaudah, buat sendiri kopimu ya.”

“Okee…”

Kakaknya menyusul duduk di balkon bersama adiknya setelah selesai membuat kopi untuk dirinya sendiri.

“Kau mengambil foto?” komentar kakaknya saat melihat kamera di mejanya.

“Yah, begitulah.”

“Gambar apa yang kau ambil? Dijalanan tidak tampak apa-apa lo.”

“Entahlah. Aku cuma merasa ingin mengambil gambar.”

“Hmmm…”

Gumaman panjang itu. Kakaknya pasti bisa melihat sesuatu dari kata-katanya barusan.

“Apa ada sesuatu yang mengganggumu?”

(Tuh kan…)

“Enggak juga, tidak ada masalah kok.”

“Saat kamu bilang tidak ada masalah, pasti selalu saja ada masalah.”

“Apa kau cenayang?”

“Aku kakakmu.”

Satu kebiasaan kakaknya yang tidak pernah berubah, adalah mengetahui perasaan si adik hanya dengan sekali lirik dan kemudian menegaskan dengan bilang “aku kakakmu”. Sambil tersenyum manis. Sejujurnya itu agak mengganggu, tapi dia sudah terbiasa sehingga dia tidak keberatan dengan sifat kakaknya itu.

“Yah, aku memang sedang memikirkan sesuatu.”

“Dan itu adalah sebuah masalah kan?”

“Kurasa gak bisa disebut sebagai masalah. Hanya… itu sedikit menggangguku.”

“Kalau begitu itu sebuah masalah.”

“Baiklah terserah kau mau menyebutnya apa.”

“Jadi? Kau meu menceritakannya kepadaku?”

“Baiklah.”

Si adik menceritakan segalanya. Tentang Sina, tentang apa yang terjadi saat SMA, tentang apa yang dirasakannya, apa yang dirasakan Sina. Tentang Sina yang datang ke kamarnya. Ya. Segalanya berputar di sekitar Sina.

Lihat selengkapnya